14.CERITA RAKYAT
Di antara prosa khazanah Kepulauan Riau ialah cerita rakyat dan cerita tulisan para penulis daerah ini,baik lama maupun baru. Berikut ini disajikan beberapa contohnya.
Cerita Rakyat Melayu
BUJANG SRI LADANG
Cerita Bujang Sri Ladang ini mengisahkan seorang perjaka yang tidak mau menikah. Akan tetapi, pada suatu hari dia minta izin pada kedua orang tuanya pergi merantau. Dalam perantauannya itulah dia bertemu dengan 11 orang puteri yang sedang mandi di danau. Lalu, Bujang Sri Ladang menyembunyikan baju-baju puteri itu sehingga mereka merasa kehilangan.
Ketika sedang mencari baju-baju itu, tiba-tiba Bujang muncul dan menanyakan apakah yang sedang dicari. Mereka menjawab bahwa mereka kehilangan baju-baju yang dipakai untuk pulang ke kayangan. Pada saat itu, Bujang bertanya, “Jika baju itu kutemukan, apa upahnya?” salah seorang puteri menjawab. “Apa saja yang kamu minta akan kami kabulkan”. Bujang pun menanyakan niatnya bahwa dia menginginkan salah seorang diantara puteri itu untuk menjadi istrinya. Setelah sepakat, salah seorang puteri bersedia menjadi istri Bujang, tetapi dengan satu syarat, yaitu Bujang tidak boleh makan buah delima selama mereka menikah. Bujang pun sanggup memenuhi janji itu. Tak lama setelah itu, Bujang dan salah seorang puteri itu menikah.
Suatu hari Bujang dan teman-temannya pergi berburu di hutan. Di dalam hutan, teman Bujang menemukan buah delima yang sedang masak. Bujang sangat lapar. Tanpa menyadari sumpahnya, Bujang pun memakan buah delima itu. Setelah makan, barulah Bujang sadar bahwa dia telah melanggar janji. Lalu ia buru-buru pulang ke rumah untuk melihat istrinya. Istrinya sudah siap-siap akan terbang ke kayangan tetapi Bujang masih sempat menyambar rambut istrinya yang panjang dan Bujang pun ikut terbang. Akan tetapi Bujang tidak dapat mencapai kayangan dan berada di awang-awang, sedangkan istrinya telah berkumpul kembali dengan kakak-kakaknya di kayangan.
Cerita Rakyat Melayu
PAK ANDE BERTEMU GERGASI
Pak Ande adalah seorang suami yang bodoh memiliki anak bernama Ande. Dia tidak memiliki perkerjaan. Istrinya sangat risau melihatnya dan berusaha mencari pekerjaan untuk suaminya.
Pada suatu hari, Pak Ande ditawari pekerjaan di sebuah kapal. Kapal itu sekali seminggu akan singgah di kampong Pak Ande. Pak Ande sebetulnya tidak begitu berminat, tetapi istrinya yang sangat mendesak. Pak Ande terpaksa menyatakan setuju.
Setelah bersiap-siap dan dibekali makanan atau kue-kue, pagi-pagi berangkatlah Pak Ande dari rumah menuju pelabuhan. Setelah tak tampak lagi sosok tubuh Pak Ande ketika memasuki tikungan, Mak Ande dan anaknya melanjutkan tidurnya karena hari masih pagi. Rupanya Pak Ande tidak jadi ke pelabuhan dan balik lagi ke rumah. Dia berjalan mengendap-endap dan menaiki para rumahnya.
Selama tujuh hari dia berada di para itu dan kue-kuenya yang dibekali istrinya itulah yang dimakannya selama tujuh hari. Dia atas para itu pulalah Pak Ande tidur pada malam harinya. Pada waktu tidur itulah tikus-tikus mendatangi Pak Ande karena bau kue yang tersisa di bibir Pak Ande. Tikus-tikus itu menggigit bibir Pak Ande sedikit demi sedikit sehinggalah habis bibir Pak Ande. Pak Ande sebetulnya sangat kesakitan, akan tetapi dia tak berani menjerit karena takut pada istrinya. Sebetulnya, dia ingin sekali memukul tikus-tikus itu, tetapi dia takut terdengar istrinya pula. Akhirnya dia rela kehilangan bibirnya.
Karena sudah seminggu, kapal yang berlayar kembali lagi ke kampong Pak Ande. Mak Ande bersiap-siap menyambut Pak Ande sambil membersihkan seluruh rumah, termasuk para dapur. Ketika menarik kain di atas para itulah, tampak Pak Ande yang sedang bersembunyi. Wajahnya hitam karena asap dapur. Dengan muka pucat ketakutan, Pak Ande turun. Istrinya sangat marah karena ditipu, tetapi anaknya ketakutan melihat wajah Pak Ande yang tidak berbibir.
Karena sangar marah, Mak Ande dan anaknya pergi dari rumah, tetapi disusul Pak Ande dari kejauhan. Karena perjalanan jauh, Mak Ande merasa haus dan berniat ingin memanjat pohon kelapa, tetapi tidak dapat memanjat. Pada waktu itulah Mak Ande terpaksa memanggil Pak Ande yang mengikutinya dari jauh dan memanjat. Setelah meminum air kelapa, rasa haus belum juga reda.
Sesampainya di hutan, mereka mendengar suara orang makan, tetapi sangat kuat. Setelah diintip, ternyata sepasang gergasi sedang makan. Mereka terpaksa mendiamkan diri karena takut. Akan tetapi anak Pak Ande tidak dapat menahan lapar dan berteriak minta makan. Mendengar teriakan itu, sepasang gergasi keluar dari sarangnya dan mereka sangat marah dan akan memakan Pak Ande sekeluarga. Akan tetapi melihat wajah Pak Ande yang tak ada bibir, sepasang gergasi ketakutan dan lari tunggang-langgang meninggalkan sarang mereka. Setelah gergasi tak kelihatan lagi, barulah Pak Ande sekeluarga berani berdiri dan memeriksa sarang gergasi. Pada saat itulah ditemukan emas dan berlian yang banyak. Pak Ande mengambil semua emas dan berlian itu dan sejak itulah Pak Ande sekeluarga menjadi kaya, namun bodohnya tetap tidak hilang.
Cerita Rakyat Melayu
WAK SI DOLAN
Wak si Dolan adalah bujang telajak yang berumur kira-kira setengah abad. Pekerjaannya sebagai nelayan miskin sehingga rumah pun tak sanggup dibuatnya. Dia hanya memiliki pondok yang beratap yang berdinding rumbia dan berlantai nibung.
Suatu hari dia memancing dan mendapat ikan ternggiri batang yang besar. Bukan main senang hatinya dan dia membayangkan akan mendapatkan uang banyak karena ikan tenggiri itu harganya mahal.
Uang itu akan dibelika ayam. Setelah ayamnya berkembang biak, dia akan membeli itik. Itik berkembang, dia akan membeli kambing. Kambing berkembang, dia akanmembeli sapi. Sapi berkembang biak, dia akan membeli jaring ikan yang besar. Lalu dia akan menjadi kaya, punya rumah besar dan bagus.
Dia menghayal ingin memiliki istri dua sekaligus, yaitu Fatimah dan Aminah. Dia akan merasa bahagia tidur bersama kedua istrinya. Ketika menghadap ke Aminah, Fatimah akan menggelitik pingganggnya. Sebaliknya, ketika dia menghadap Fatimah, Aminah akan menggelitiknya. Akhirnya dia berbalik ke kanan dan ke kiri karena kegelian. Karena merasa geli badannya begoyang-goyang ke kiri dan ke kanan sehingga sampannya pun ikut bergoyang dan oleng. Karena asyik dan kuatnya bergoyang, akhirnya sampannya terbalik. Dolan tersentak sadar, tetapi ikan tenggirinya tenggelam ke dasar laut dan dibawa arus. Habislah khayalannya untuk mendapat istri cantik.
Cerita Rakyat Melayu
PUTRA LOKAN
Pada zaman dulu di hulu sungai Bintan memerintah seorang raja yang adil. Rakyatnya makmur dan sejahtera. Akan tetapi, sayangnya, raja tidak memiliki keturunan meskipun sudah belasan tahun menikah.
Pada suatu hari permaisuri dan raja pergi berkelah di muara sungai dan permaisurinya yang ditemani dayang-dayang mandi di sungai. Entah apa sebabnya tiba-tiba permaisuri terjatuh dan pingsan.
Raja sangat resah melihata keadaan permaisurinya. Dipanggilnya tabib, tetapi tabibi tidak mengobati karenda permaisuri sedang berbadan dua. Berita ini sangat menggembirakan raja dan permaisuri derta seluruh rakyatnya.
Ketka melahirkan, bepata terkejutnya raja dan permaisuri karena anak yang dilahirkan berupa lokan. Peristiwa ini merupakan aib bagi raja. Raja bingung dan malu. Ada saat kebingungan itlah bendaraha kerajaan yang menyimpan niat jahat pada raja mengahsut raja agar permaisuru dan likan dibuang ke dalam hutan yang jauh dari kerjaan. Sesampai di hutan, permaisuri merasa sangat sedih, takut dan bingung. Dalam kebingan itu pula dia bertemu dengannenek Kebayan. Di rumah nenek Kebayan yang sempit itulah permaisuru menghabiskan waktu bersama dengan lokan anaknya.
Setelah 18 tahun di hutan, rupanya lokan berkembanga sesuai usianya. Pada malam bula purnama, muncullah seorang putera dari dalam kolam. Betapa terkejutnya permaisur da dia heran siapakah gerangan pemuda tampan ini. Akan tetapi, putera lokan langsung mengatakan bahwa dia adalah purta permaisur yang muncul dari dalam lokan. Betapa haru dan bahagianya permaisuri.
Tak lama kemudian, mereka berdua, yaitu permaisuri dan putranya berangkat ke kerajaan. Mereka ingin bertemu dengan raja dan melihat-lihat keadaan itu kota kerajaan. Mereka tinggal di pinggir kota dan Putra Lokan menyamar sebagai pedagang kelliling sehingga agak bebas memasuki lingkungan istana.
Dari penyamaran inilah diketahui bahwa raja telah ditawan dan ditahanoleh bendahara dan pengikutnya d dalam perigi beracun. Hal ini diceritakannya pada ibundanya. Lalau mereka berencanamelakikan penyerangan terhadap bendahara.
Pada saat yang tepat, Putra Lokan melakukan penyerangan dan menang. Kemudian dapat membebaskan raja dari dalam perigi beracun. Raja merasa sangat beruntang budi kepada Putra Lokan. Kemudan raja bertanya, “Siapakah pemuda sebenarnya?” Purta Lokan menjawab “Biarlah nanti ibunda saya yang menjawab, sebentar lagi ibunda akan datang menghadap baginda”. Taklama kemudian muncullah ibunda Putra Lokan dan tahulah baginda bahwa pemuda itu adalah putranya sendiri.
Cerita Rakyat Melayu
BATU BELAH BATU BETANGKUP
Dalam cerita ini digambarkan seorang janda yang hidup dengan dua orang anaknya, yaitu Yang Sari dan Pang Yakop. Yang Sari berumur 14 tahun dan Pang Yakop berumur 1,5 tahun. Janda ini bekerja mencari ikan dan berladang.
Janda ini sangat ingin memakan telur ikan temakul yang didapatkan di laut. Karena inginya dia memakan telur tersebut, sampai-sampai dia berpesan kepada anaknya, Yang Sari, “Tinggalkan sedikit untuk Mak telur ikan temakul. Janganlah engkau habiska ya!”. Akan tetapi, Yang Sari lupa pada pesan Maknya. Telur itu habis dimakannya karena enak.
Maknya sangat kesal dan marah dan pergi ke tepi pantai di dekat sebuah batu besar. Di situ beliau menyesali hidup ini apalagi anaknya tidak mau mendengar pesannya. Lalu janda itu bersumpah, “Batu belah batu bertangkup; daripada aku berpanjang derita; batu belah bertangkup, tangkuplah aku. Entah kekuatan gaib mana yang muncul, tiba-tiba batu besar tadi benar betangkup dan tertelanlah janda itu di dalamnya. Tinggalkah Yang Sari dan Pang Yakob berdua tanpa ayah dan ibu. Yang Sari sangat tertekan dan menyesal, tetapi tak ada gunanya.
Cerita Rakyat Melayu
PUAKA TANJUNG PENYABUNG
Cerita ini menghisahkan seorang anak bernama Atan Comot yang durhaka kepada ibunya. Atan Comot hilang ditelan laut karena ibunya menyumpahinya. Hal ini terjadi ketika Atan Comot yang sudah kaya raya malu menerima makanan kesayangannya ketika masih kecil, yaitu borin asap dengan ulam latuh. Peristiwa itu terjadi ketika Atan menendang baki berkarat yang berisi borin asap dan ulam latuh yang dibawa ibunya. Kemudian Atan memukul tangan ibunya yang berpegang pada tepi perahu sehingga ibunya terjatuh ke dalam sampan kecilnya dan hampir tercebur ke laut. Ibu Atan sangat sedih, kesal dan marah. Kemudian , ibu Atan pergi ke sebuah batu di Tanjung Penyabung itu dan berdo’a sambil memegang kedua buah dadanya. Doanya, “Jika benar anak diperahu itu anakku Atan, anak yang telah kukandung Sembilan bulan sepuluh hari; anak yang telah kubesarkan dengan air susuku ini, terjadilah sesuatu padanya”. Setelah doa itu selesai, tiba-tiba guruh menggelegar dan angin ribut turun dengan kencangnya menenggelamkan perahu Atan. Atan menjerit minta tolong dan minta ampun pada ibunya, tetapi sudah terlambat. Atan hilang ditelan laut.
Saat ini, menurut cerita orang, entah benar entah tidak, jika angin sedang kencang, pernah terlihat seorang nenek berdiri di atas batu dan terdengar pula suara orang menjerit.
Berikut ini hendak dikisahkaan sebuah cerita rakyat tentang di Jangoi. Ceritanya adalah seperti berikut:
Cerita Rakyat Melayu
SI JANGOI
Pulau Penyengat, Pulau Los dan Pulau Paku, tiga tempat yang sangat berkaitan. Di antara ketiga pulau tersebut, Pulau Penyengat lebih besar dan berpenduduk ramai. Di dalam Sejarah Kerajaan Riau-Lingga, kedudukan Pulau Penyengat sangat penting sekali. Bukan saja sebagai hadiah Mas Kawin dan Sultan Mahmud kepada Engku Putri atau Raja Hamidah. Tetapi juga pada tahun 1808 M menjadi pusat pemerintah Kerajaan. Yaitu ketika Raja Ja’far yang diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda VI menggantikan Raja Ali, menjadikan Pulau Penyengat sebagai pusat kediaman dan pemerintahannya.
Selain itu, Pulau Penyengat sudah dikenal, jauh sebelum Kerajaan Riau di pindahkan dari johor ke Hulu Riau. Yakni sebagai pulau yang disinggah oleh para pelaut untuk mengambil air bersih. Dan kononnya di pulau itu banyak sejenis binatang penyengat seperti lebah. Hingga kemudiannya pulau itu bernama Penyengat.
Sedangkan Pulau Los Keadaannya jauh lebih kecil serta tidak berpenghuni. Posisinya berada tak jauh dari Pulau Penyengat. Kalau kita melihat dari Pelabuhan Laut Tanjungpinang, posisi Pulau Los di sebelah kanan Pulau Penyengat. Dari ujung Senggarang, Pulau Los sangat dekat.
Tidak begitu jelas kenapa Pulau Los tidak berpenghuni, tetapi menurut cerita orang-orang tua, dahulunya Pulau Los menjadi sarang Bajak Laut ketika berakhirnya pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga. Konon, menurut ceritanya Pulau Los juga dijadikan tempat pembuangan orang-orang jahat.
Bagi para nelayan dahulu, di daerah sekitar Pulau Los ada suatu tempat yang ditakuti, karena kononnya di situ terdapat semacam gelombang pasang yang sering datang tiba-tiba. Soal kebenarannya, Wallahu alam bishawab.
Dan bagaimana dengan Pulau Paku?
Pulau Paku sebenarnya hanyalah semacam tanah busut (beting) di tengah laut antara Teluk Keriting dan Penyengat. Entah kenapa dan bagaimana ceritanya hingga tanah busut atau beting tersebut hingga disebut pulau. Yang jelas kalau air pasang dalam Pulau Paku itu tenggelam dan tidak kelihatan, tetapi kalau air surut akan kelihatan. Dan konon, dahulunya di Pulau Paku itu tumbuh sejenis pohon. Kononnya pula Pulau Paku ini sebagai lambang kemakmuran.
Demikianlah halnya tentang Pulau Penyengat, Pulau Los dan Pulau Paku. Lalu, bagaimanakah kisah si Jangoi sesuai dengan judul cerita kali ini? Jangoi, menurut pengertian dalam bahasa Melayu adalah nakal. Atau anak yang nakal. Atau barangkali nama Jangoi hanya diberikan sebagai nama tokoh dalam cerita ini, itupun tak begitu pasti.
Syahdan alkisah, menurut yang empunya cerita kehidupan masyarakat di Pulau Penyengat sangatlah harmonis dan bahagia. Masyarakatnya ramah tamah, bersopan santun, dan saling kasih mengasihi antara satu sama lainnya. Kebahagiaan kehidupan mereka agak terganggu ketika munculnya seorang anak yang bernama jangoi.
Jangoi adalah julukan untuk anak yang nakal, yang suka mengusik orang. Apalagi mengusik anak dara, tak perduli pagi, siang, petang ataupun malam. Di saat orang menjaring, Jangoi pun suka merusak jaring orang. Alkisah, adaaaa….. saja yang dikerjakan atau diganggunya.
Pernah juga orang-orang kampong merasa geram dan marah kepada Jangoi, hingga suatu ketika Jangoi ditangkap dan diikat di sebuah pohon. Tetapi entah bagaimana, e’eh ….. tahu-tahu si Jangoi lepas dari ikatan dan menghilang. Orang kampong pun jadi heran. Padahal ikatan di pohon itu begitu kuat, tapi ternyata si Jangoi dapat melepaskan diri.
Untuk beberapa hari, sejak Jangoi di tangkap dan menghilang, keadaan kampong agak tenang. Tak pernah terdengar lagi soal si Jangoi yang suka mengganggu orang. Tapi ketentraman itu tidak lama. Rupanya entah dari mana, tahu-tahu si Jangoi muncul lagi. Kali ini kelakuannya lebih jahat. Tidak hanya suka mengganggu ataupun mengusik, tapi sengaja mengejar-ngejar anak-anak perempuan ataupun anak dara yang mau pergi atau pulang mengaji. Sehingga sebagian anak-anak dara ataupun anak-anak takut pergi untuk mengaji.
Malahan suatu ketika, pada suatu malam Jangoi bersembunyi pada sebuah pohon yang rimbun, ia memakai pakaian putih, layaknya mayat yang baru keluar dari lobang kubur. Entah mukena siapa yang dicurinya.
Begitu orang-orang pulang dari surau dan melewati pokok rimbun itu, Jangoi pun keluar dengan melompat-lompat layaknya sebagai lembaga atau hantu. Maka berhamburan berlari-lari sambil berteriak-teriak ketakutan orang-orang itu, khususnya orang perempuan dan anak-anak. Penduduk setempat sangat marah! Maka dicarilah akal untuk menangkap si Jangoi. Orang-orang kampong sengaja mengintai dan mencari kelengahan Jangoi.
Alhasil, pada suatu ketika, dapatlah si Jangoi ditangkap oleh orang kampong. Beramai-ramai orang kampong itu mengarak si Jangoi. Kedua tangannya diikat ke belakang. Sesampainya di sebuah pohon yang besar, si Jangoi diikat. Sekali ini, si Jangoi tidak ditinggal begitu saja. Melainkan dijaga oleh orang dewasa. Jaganya bergantian. Pokoknya, istilah kata orang, tak boleh leke.
“Huh! Baru kau rasa sekarang, ya? Kau tak akan dapat lepas lagi, Jangoi. Kami jaga engkau berganti-ganti,” kata orang yang menjaganya.
Apa jawab si Jangoi?
“Kalau ada orang menjaga enak juga. Engakau orang jadi pengawal aku, si Jangoi!” Ejek Jangoi.
“kurang ajar! Dasar anak bertuah!” kata si penjaganya dengan marah.
“Aku diikat, engkau orang menjaga. Engkau orang juga yang penat!” Ejek Jangoi lagi. Naik pitam juga orang yang menjaganya melihat perangai si Jangoi.
“Hei, dengar! Budak macam kau ‘ni tak perlu dilayan!” Kata si Penjaganya dengan geram.
“Tak, layan sudah! Akupun tak rugi!” Jawab si Jangoi sambil ketawa-ketawa.
“Iiih …. Kalau bukan masih budak lagi, sudah aku lumat-lumatkan, engkau ‘ni!” Begitu geramnya di Penjaga itu melihat perangai Jangoi. Adaaaa …. Saja jawabnya. Maka si Penjaga itupun tak hendak melayan si Jangoi lagi.
Memang sungguh luar biasa, istilah kata orang, tak boleh leke. Padahal orang yang menjaganya betul-betul dan dijaga secara berganti-ganti. Tapi dalam sekelip mata, si Jangoi boleh hilang dari pokok tempat ia diikat. Para penjaga kalang-kabut mencari-cari, sampai kemerata tempat. Tapi si Jangoi hilang macam di telan bumi.
Akhirnya, orang-orang kampong jadi putus asa. Mereka tak tahu lagi bagaimana untuk mencari dan menangkap si Jangoi. Orang-orang kampong sangat khawatir kalau-kalau si Jangoi muncul lagi dan buat perangai yang lebih teruk. Dan betul saja, tak sampai sepekan si Jangoi pun muncul. Sekali ini bukan anak dara, anak-anak ataupun orang perempuan, melainkan orang-orang tua pun diusik dan ditakuti-takuti. Layaknya jadi macam orang minyak!.
Suasana kampong betul-betul kelam-kabut dibuat ulah si Jangoi!. Maka akhirnya orang kampong berkumpul dengan dipimpin oleh Orang Tua di kampong itu. Mereka bermusyawarah untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
“wahai orang-orang kampong, nampaknya perangai si Jangoi, tak boleh kita diamkan begitu saja. Si Jangoi telah membuat kerusuhan di kampong kita ini!” kata Orang Tua itu.
“Kalau dapat sekali ini, kita rejam saja, Tok!” ujar salah seorang penduduk.
“Tapi si Jangoi itu masih budak-budak lagi, takkanlah hendak direjam pula!” kata penduduk yang lain.
“Memang masih budak-budak, tapi kelakuannya sudah melampau batas! Sudah membuat kampong kita ini kacau balau!” Kata salah seorang penduduk yang lainnya pula.
“Yang penting kita dapat menangkap dahulu budak yang bernama Jangoi itu. Bagaimana dan apa yang patutu kita buat, biarlah nanti kalau si Jangoi sudah tertangkap. Kita jangan biarkan lagi si Jangoi itu buat kerusuhan di kampong kita ini. Itu yang penting!” akhirnya Orang Tua yang memimpin musyawarah itu berkata.
Banyak orang kampong yang memburu dan hendak menangkap si Jangoi. Pada hari petang menjelang maghrib, si Jangoi mulai dengan perangainya mengusik orang yang akan pergi sembahyang.
Maka serentak orang-orang kampong yang sudah bersiap sedia, langsung mengejar Jangoi.
Maka terjadilah kejar-mengejar, walaupun ramai orang yang memburunya, tak mudah untuk menangkap Jangoi. Jangoi pandai menggelecek, lari sana, sembunyi di sini. Badannya pun macam belut, licin. Payah di tangkap. Tetapi dengan usaha yang gigih dari orang-orang kampong, akhirnya Jangoi dapat tertangkap.
Begitu jangoi dapat tertangkap, langsung diikat serta diapit oleh beberapa orang dewasa sehingga tak dapat lari. Langsung dibawa kehadapan Orang Tua.
“Hei Jangoi …. Aku hendak bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur …. Apa sebenarnya maksudmu suka mengganggu orang-orang kampong, hingga kelakuanmu seperti orang minyak!” Tanya Orang Tua. Tapi si Jangoi tidak menjawab, ia hanya tertawa-tawa saja.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau menjawab. Tapi beritahukan kepadaku, ilmu apa yang kamu pakai sehingga dapat melepaskan ikatan dan menghilangkan diri …” Tanya lagi si Orang Tua dengan sabar.
Ternyata si Jangoi masih belum ingin menjawab, ia masih diam dan hanya tersenyum-senyum. Orang Tua itu pun hampir habis kesabarannya, tapi masih juga ditahannya. Lalu Orang Tua itu berkata lagi,
“sekarang jelaskan apa syaratnya supaya kamu tidak boleh melepaskan diri dan menghilang lagi!”
“Benarkah orang-orang kampong ingin menyingkirkan aku dari kampong ini?” Tiba-tiba si Jangoi bicara.
“Kamu budak yang sangat nakal, yang hilang sama sekali dari kampong ini!” ujar seorang penduduk dengan geram.
“Kalau kau tak mau member tahu syaratnya, tubuhmu akan kami bakar hidup-hidup!” kata orang yang lainnya pula.
Mendengar tubuhnya mau dibakar, si Jangoi ketakutan. “Jangan, jangan dibakar. Aku tidak akan mati, tapi akan sangat menderita …”
Ujar si Jangoi ketakutan.
“Kalau begitu katakanlah syaratnya!” Ujar Orang Tua di kampong itu.
“Baiklah! Jika orang-orang kampong sangat benci padaku, dan ingin melenyapkan aku, mudah saja. Syaratnya, pisahkan tubuhku menjadi tiga bahagian. Kepala, badan dan kaki.” Jelas Jangoi menerangkan.
Mendengar penjelasan dari si Jangoi, orang-orang kampong sangat terkejut. Terumanya si Orang Tua. Sungguhnya itu hanya ingin menakuti-nakuti. Tak akan tergamak atau sampai hati mereka untuk membakar si Jangoi hidup-hidup, apalagi harus memenggal tubuh si Jangoi menjadi tiga bahagian, kepala,badan serta kaki.
Melihat orang-orang kampong sangat terkejut dan sepertinya tak sampai hati untuk memenggal dirinya menjadi tiga bahagian, si Jangoi pun berkata, “Kenapa orang-orang menjadi ketakutan dan tak sampai hati untuk memenggal aku? Kalau tubuhku tidak dipisahkan, aku tidak akan mati dan aku akan terus mengacau!” Ujar si Jangoi.
Kata-katanya, betul-betul membuat orang kampong serba salah. Kalau tidak melakukan seperti apa kata si Jangoi. Kampong tidak akan aman. Tapi kalau melakukan syarat yang dikatakan oleh Jangoi, mereka juga tak sampai hati. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya si Jangoi di bunuh. Namun orang kampong tidak mengikut arahannya dari Jangoi untuk memisahkan ketiga bahagian tubuhnya.
Akhirnya, tak sampai seminggu si Jangoi bangkit dari kuburnya, dan hidup kembali, serta mengacau orang kampong lebih dahsyat. Si Jangoi betul-betul jadi macam orang minyak.
Terpaksalah orang kampong mencari orang yang berilmu, orang pandai, untuk menangkap Jangoi. Setelah berusaha dengan keras, akhirnya si Jangoi dapat tertangkap.
“Wahai orang kampong sekaliannya, kita memang harus melakukan seperti arahan yang diberikan oleh si jangoi ini. Sebab itulah petuahnya, jika kita tidak melakukannya. Si Jangoi akan terus dengan perangkainya. Bahkan semakin hari, semakin jahat. Memang kita tak sampai hati, sebab si jangoi masih budak lagi. Demi kepentingan orang banyak, terpaksalah kita harus mengorbankan si Jangoi!” Demikian kata orang pandai itu dengan panjang lebar.
Akhirnya dengan perasaan serba salah, orang-orang kampongpun melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Jangoi. Konon, kepala Jangoi di tanam di Pulau Los, badannya di tanam di Pulau Penyengat, sedangkan kakinya di tanam di Pulau Paku. Memang sungguh ajaib!
Sejak kejadian itu si Jangoi memang tak pernah muncul lagi. Kampong itupun kembali tentram seperti semula.
Oleh sebab itu, kalau ada anak nakal, selalu disebut orang,
“Huh! Kelaku macam si Jangoi!”
*****
Cerita rakyat yang diceritakan di atas hanyalah sebagian dari cerita rakyat yang dimiliki Kepulauan Riau. Selain cerita-cerita di atas, Kepulauan Riau masih memiliki banyak cerita rakyat, antara lain, Pinang Gumba, Bidu Berjanggut, Silang Juna, Si Jambu Rakai, Jerambang, Dandan Setia Nazar Dicinta, Panglima Undan, Asal Mula Orang Maras Pindah ke Bakung, Awang Pengintai, Cerita Suku Barok, Gunung Lima Beradik, Ular Mati Ekor, Panglima Daik, Pak Belalang, Pak Pandir, Lebai Malang, Si Tanggang, Si Badang, Pulau Paku, Pulau Tapai, Jangoi, Kisah Gunung Daik dan masih banyak lagi.
Di antara prosa khazanah Kepulauan Riau ialah cerita rakyat dan cerita tulisan para penulis daerah ini,baik lama maupun baru. Berikut ini disajikan beberapa contohnya.
Cerita Rakyat Melayu
BUJANG SRI LADANG
Cerita Bujang Sri Ladang ini mengisahkan seorang perjaka yang tidak mau menikah. Akan tetapi, pada suatu hari dia minta izin pada kedua orang tuanya pergi merantau. Dalam perantauannya itulah dia bertemu dengan 11 orang puteri yang sedang mandi di danau. Lalu, Bujang Sri Ladang menyembunyikan baju-baju puteri itu sehingga mereka merasa kehilangan.
Ketika sedang mencari baju-baju itu, tiba-tiba Bujang muncul dan menanyakan apakah yang sedang dicari. Mereka menjawab bahwa mereka kehilangan baju-baju yang dipakai untuk pulang ke kayangan. Pada saat itu, Bujang bertanya, “Jika baju itu kutemukan, apa upahnya?” salah seorang puteri menjawab. “Apa saja yang kamu minta akan kami kabulkan”. Bujang pun menanyakan niatnya bahwa dia menginginkan salah seorang diantara puteri itu untuk menjadi istrinya. Setelah sepakat, salah seorang puteri bersedia menjadi istri Bujang, tetapi dengan satu syarat, yaitu Bujang tidak boleh makan buah delima selama mereka menikah. Bujang pun sanggup memenuhi janji itu. Tak lama setelah itu, Bujang dan salah seorang puteri itu menikah.
Suatu hari Bujang dan teman-temannya pergi berburu di hutan. Di dalam hutan, teman Bujang menemukan buah delima yang sedang masak. Bujang sangat lapar. Tanpa menyadari sumpahnya, Bujang pun memakan buah delima itu. Setelah makan, barulah Bujang sadar bahwa dia telah melanggar janji. Lalu ia buru-buru pulang ke rumah untuk melihat istrinya. Istrinya sudah siap-siap akan terbang ke kayangan tetapi Bujang masih sempat menyambar rambut istrinya yang panjang dan Bujang pun ikut terbang. Akan tetapi Bujang tidak dapat mencapai kayangan dan berada di awang-awang, sedangkan istrinya telah berkumpul kembali dengan kakak-kakaknya di kayangan.
Cerita Rakyat Melayu
PAK ANDE BERTEMU GERGASI
Pak Ande adalah seorang suami yang bodoh memiliki anak bernama Ande. Dia tidak memiliki perkerjaan. Istrinya sangat risau melihatnya dan berusaha mencari pekerjaan untuk suaminya.
Pada suatu hari, Pak Ande ditawari pekerjaan di sebuah kapal. Kapal itu sekali seminggu akan singgah di kampong Pak Ande. Pak Ande sebetulnya tidak begitu berminat, tetapi istrinya yang sangat mendesak. Pak Ande terpaksa menyatakan setuju.
Setelah bersiap-siap dan dibekali makanan atau kue-kue, pagi-pagi berangkatlah Pak Ande dari rumah menuju pelabuhan. Setelah tak tampak lagi sosok tubuh Pak Ande ketika memasuki tikungan, Mak Ande dan anaknya melanjutkan tidurnya karena hari masih pagi. Rupanya Pak Ande tidak jadi ke pelabuhan dan balik lagi ke rumah. Dia berjalan mengendap-endap dan menaiki para rumahnya.
Selama tujuh hari dia berada di para itu dan kue-kuenya yang dibekali istrinya itulah yang dimakannya selama tujuh hari. Dia atas para itu pulalah Pak Ande tidur pada malam harinya. Pada waktu tidur itulah tikus-tikus mendatangi Pak Ande karena bau kue yang tersisa di bibir Pak Ande. Tikus-tikus itu menggigit bibir Pak Ande sedikit demi sedikit sehinggalah habis bibir Pak Ande. Pak Ande sebetulnya sangat kesakitan, akan tetapi dia tak berani menjerit karena takut pada istrinya. Sebetulnya, dia ingin sekali memukul tikus-tikus itu, tetapi dia takut terdengar istrinya pula. Akhirnya dia rela kehilangan bibirnya.
Karena sudah seminggu, kapal yang berlayar kembali lagi ke kampong Pak Ande. Mak Ande bersiap-siap menyambut Pak Ande sambil membersihkan seluruh rumah, termasuk para dapur. Ketika menarik kain di atas para itulah, tampak Pak Ande yang sedang bersembunyi. Wajahnya hitam karena asap dapur. Dengan muka pucat ketakutan, Pak Ande turun. Istrinya sangat marah karena ditipu, tetapi anaknya ketakutan melihat wajah Pak Ande yang tidak berbibir.
Karena sangar marah, Mak Ande dan anaknya pergi dari rumah, tetapi disusul Pak Ande dari kejauhan. Karena perjalanan jauh, Mak Ande merasa haus dan berniat ingin memanjat pohon kelapa, tetapi tidak dapat memanjat. Pada waktu itulah Mak Ande terpaksa memanggil Pak Ande yang mengikutinya dari jauh dan memanjat. Setelah meminum air kelapa, rasa haus belum juga reda.
Sesampainya di hutan, mereka mendengar suara orang makan, tetapi sangat kuat. Setelah diintip, ternyata sepasang gergasi sedang makan. Mereka terpaksa mendiamkan diri karena takut. Akan tetapi anak Pak Ande tidak dapat menahan lapar dan berteriak minta makan. Mendengar teriakan itu, sepasang gergasi keluar dari sarangnya dan mereka sangat marah dan akan memakan Pak Ande sekeluarga. Akan tetapi melihat wajah Pak Ande yang tak ada bibir, sepasang gergasi ketakutan dan lari tunggang-langgang meninggalkan sarang mereka. Setelah gergasi tak kelihatan lagi, barulah Pak Ande sekeluarga berani berdiri dan memeriksa sarang gergasi. Pada saat itulah ditemukan emas dan berlian yang banyak. Pak Ande mengambil semua emas dan berlian itu dan sejak itulah Pak Ande sekeluarga menjadi kaya, namun bodohnya tetap tidak hilang.
Cerita Rakyat Melayu
WAK SI DOLAN
Wak si Dolan adalah bujang telajak yang berumur kira-kira setengah abad. Pekerjaannya sebagai nelayan miskin sehingga rumah pun tak sanggup dibuatnya. Dia hanya memiliki pondok yang beratap yang berdinding rumbia dan berlantai nibung.
Suatu hari dia memancing dan mendapat ikan ternggiri batang yang besar. Bukan main senang hatinya dan dia membayangkan akan mendapatkan uang banyak karena ikan tenggiri itu harganya mahal.
Uang itu akan dibelika ayam. Setelah ayamnya berkembang biak, dia akan membeli itik. Itik berkembang, dia akan membeli kambing. Kambing berkembang, dia akanmembeli sapi. Sapi berkembang biak, dia akan membeli jaring ikan yang besar. Lalu dia akan menjadi kaya, punya rumah besar dan bagus.
Dia menghayal ingin memiliki istri dua sekaligus, yaitu Fatimah dan Aminah. Dia akan merasa bahagia tidur bersama kedua istrinya. Ketika menghadap ke Aminah, Fatimah akan menggelitik pingganggnya. Sebaliknya, ketika dia menghadap Fatimah, Aminah akan menggelitiknya. Akhirnya dia berbalik ke kanan dan ke kiri karena kegelian. Karena merasa geli badannya begoyang-goyang ke kiri dan ke kanan sehingga sampannya pun ikut bergoyang dan oleng. Karena asyik dan kuatnya bergoyang, akhirnya sampannya terbalik. Dolan tersentak sadar, tetapi ikan tenggirinya tenggelam ke dasar laut dan dibawa arus. Habislah khayalannya untuk mendapat istri cantik.
Cerita Rakyat Melayu
PUTRA LOKAN
Pada zaman dulu di hulu sungai Bintan memerintah seorang raja yang adil. Rakyatnya makmur dan sejahtera. Akan tetapi, sayangnya, raja tidak memiliki keturunan meskipun sudah belasan tahun menikah.
Pada suatu hari permaisuri dan raja pergi berkelah di muara sungai dan permaisurinya yang ditemani dayang-dayang mandi di sungai. Entah apa sebabnya tiba-tiba permaisuri terjatuh dan pingsan.
Raja sangat resah melihata keadaan permaisurinya. Dipanggilnya tabib, tetapi tabibi tidak mengobati karenda permaisuri sedang berbadan dua. Berita ini sangat menggembirakan raja dan permaisuri derta seluruh rakyatnya.
Ketka melahirkan, bepata terkejutnya raja dan permaisuri karena anak yang dilahirkan berupa lokan. Peristiwa ini merupakan aib bagi raja. Raja bingung dan malu. Ada saat kebingungan itlah bendaraha kerajaan yang menyimpan niat jahat pada raja mengahsut raja agar permaisuru dan likan dibuang ke dalam hutan yang jauh dari kerjaan. Sesampai di hutan, permaisuri merasa sangat sedih, takut dan bingung. Dalam kebingan itu pula dia bertemu dengannenek Kebayan. Di rumah nenek Kebayan yang sempit itulah permaisuru menghabiskan waktu bersama dengan lokan anaknya.
Setelah 18 tahun di hutan, rupanya lokan berkembanga sesuai usianya. Pada malam bula purnama, muncullah seorang putera dari dalam kolam. Betapa terkejutnya permaisur da dia heran siapakah gerangan pemuda tampan ini. Akan tetapi, putera lokan langsung mengatakan bahwa dia adalah purta permaisur yang muncul dari dalam lokan. Betapa haru dan bahagianya permaisuri.
Tak lama kemudian, mereka berdua, yaitu permaisuri dan putranya berangkat ke kerajaan. Mereka ingin bertemu dengan raja dan melihat-lihat keadaan itu kota kerajaan. Mereka tinggal di pinggir kota dan Putra Lokan menyamar sebagai pedagang kelliling sehingga agak bebas memasuki lingkungan istana.
Dari penyamaran inilah diketahui bahwa raja telah ditawan dan ditahanoleh bendahara dan pengikutnya d dalam perigi beracun. Hal ini diceritakannya pada ibundanya. Lalau mereka berencanamelakikan penyerangan terhadap bendahara.
Pada saat yang tepat, Putra Lokan melakukan penyerangan dan menang. Kemudian dapat membebaskan raja dari dalam perigi beracun. Raja merasa sangat beruntang budi kepada Putra Lokan. Kemudan raja bertanya, “Siapakah pemuda sebenarnya?” Purta Lokan menjawab “Biarlah nanti ibunda saya yang menjawab, sebentar lagi ibunda akan datang menghadap baginda”. Taklama kemudian muncullah ibunda Putra Lokan dan tahulah baginda bahwa pemuda itu adalah putranya sendiri.
Cerita Rakyat Melayu
BATU BELAH BATU BETANGKUP
Dalam cerita ini digambarkan seorang janda yang hidup dengan dua orang anaknya, yaitu Yang Sari dan Pang Yakop. Yang Sari berumur 14 tahun dan Pang Yakop berumur 1,5 tahun. Janda ini bekerja mencari ikan dan berladang.
Janda ini sangat ingin memakan telur ikan temakul yang didapatkan di laut. Karena inginya dia memakan telur tersebut, sampai-sampai dia berpesan kepada anaknya, Yang Sari, “Tinggalkan sedikit untuk Mak telur ikan temakul. Janganlah engkau habiska ya!”. Akan tetapi, Yang Sari lupa pada pesan Maknya. Telur itu habis dimakannya karena enak.
Maknya sangat kesal dan marah dan pergi ke tepi pantai di dekat sebuah batu besar. Di situ beliau menyesali hidup ini apalagi anaknya tidak mau mendengar pesannya. Lalu janda itu bersumpah, “Batu belah batu bertangkup; daripada aku berpanjang derita; batu belah bertangkup, tangkuplah aku. Entah kekuatan gaib mana yang muncul, tiba-tiba batu besar tadi benar betangkup dan tertelanlah janda itu di dalamnya. Tinggalkah Yang Sari dan Pang Yakob berdua tanpa ayah dan ibu. Yang Sari sangat tertekan dan menyesal, tetapi tak ada gunanya.
Cerita Rakyat Melayu
PUAKA TANJUNG PENYABUNG
Cerita ini menghisahkan seorang anak bernama Atan Comot yang durhaka kepada ibunya. Atan Comot hilang ditelan laut karena ibunya menyumpahinya. Hal ini terjadi ketika Atan Comot yang sudah kaya raya malu menerima makanan kesayangannya ketika masih kecil, yaitu borin asap dengan ulam latuh. Peristiwa itu terjadi ketika Atan menendang baki berkarat yang berisi borin asap dan ulam latuh yang dibawa ibunya. Kemudian Atan memukul tangan ibunya yang berpegang pada tepi perahu sehingga ibunya terjatuh ke dalam sampan kecilnya dan hampir tercebur ke laut. Ibu Atan sangat sedih, kesal dan marah. Kemudian , ibu Atan pergi ke sebuah batu di Tanjung Penyabung itu dan berdo’a sambil memegang kedua buah dadanya. Doanya, “Jika benar anak diperahu itu anakku Atan, anak yang telah kukandung Sembilan bulan sepuluh hari; anak yang telah kubesarkan dengan air susuku ini, terjadilah sesuatu padanya”. Setelah doa itu selesai, tiba-tiba guruh menggelegar dan angin ribut turun dengan kencangnya menenggelamkan perahu Atan. Atan menjerit minta tolong dan minta ampun pada ibunya, tetapi sudah terlambat. Atan hilang ditelan laut.
Saat ini, menurut cerita orang, entah benar entah tidak, jika angin sedang kencang, pernah terlihat seorang nenek berdiri di atas batu dan terdengar pula suara orang menjerit.
Berikut ini hendak dikisahkaan sebuah cerita rakyat tentang di Jangoi. Ceritanya adalah seperti berikut:
Cerita Rakyat Melayu
SI JANGOI
Pulau Penyengat, Pulau Los dan Pulau Paku, tiga tempat yang sangat berkaitan. Di antara ketiga pulau tersebut, Pulau Penyengat lebih besar dan berpenduduk ramai. Di dalam Sejarah Kerajaan Riau-Lingga, kedudukan Pulau Penyengat sangat penting sekali. Bukan saja sebagai hadiah Mas Kawin dan Sultan Mahmud kepada Engku Putri atau Raja Hamidah. Tetapi juga pada tahun 1808 M menjadi pusat pemerintah Kerajaan. Yaitu ketika Raja Ja’far yang diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda VI menggantikan Raja Ali, menjadikan Pulau Penyengat sebagai pusat kediaman dan pemerintahannya.
Selain itu, Pulau Penyengat sudah dikenal, jauh sebelum Kerajaan Riau di pindahkan dari johor ke Hulu Riau. Yakni sebagai pulau yang disinggah oleh para pelaut untuk mengambil air bersih. Dan kononnya di pulau itu banyak sejenis binatang penyengat seperti lebah. Hingga kemudiannya pulau itu bernama Penyengat.
Sedangkan Pulau Los Keadaannya jauh lebih kecil serta tidak berpenghuni. Posisinya berada tak jauh dari Pulau Penyengat. Kalau kita melihat dari Pelabuhan Laut Tanjungpinang, posisi Pulau Los di sebelah kanan Pulau Penyengat. Dari ujung Senggarang, Pulau Los sangat dekat.
Tidak begitu jelas kenapa Pulau Los tidak berpenghuni, tetapi menurut cerita orang-orang tua, dahulunya Pulau Los menjadi sarang Bajak Laut ketika berakhirnya pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga. Konon, menurut ceritanya Pulau Los juga dijadikan tempat pembuangan orang-orang jahat.
Bagi para nelayan dahulu, di daerah sekitar Pulau Los ada suatu tempat yang ditakuti, karena kononnya di situ terdapat semacam gelombang pasang yang sering datang tiba-tiba. Soal kebenarannya, Wallahu alam bishawab.
Dan bagaimana dengan Pulau Paku?
Pulau Paku sebenarnya hanyalah semacam tanah busut (beting) di tengah laut antara Teluk Keriting dan Penyengat. Entah kenapa dan bagaimana ceritanya hingga tanah busut atau beting tersebut hingga disebut pulau. Yang jelas kalau air pasang dalam Pulau Paku itu tenggelam dan tidak kelihatan, tetapi kalau air surut akan kelihatan. Dan konon, dahulunya di Pulau Paku itu tumbuh sejenis pohon. Kononnya pula Pulau Paku ini sebagai lambang kemakmuran.
Demikianlah halnya tentang Pulau Penyengat, Pulau Los dan Pulau Paku. Lalu, bagaimanakah kisah si Jangoi sesuai dengan judul cerita kali ini? Jangoi, menurut pengertian dalam bahasa Melayu adalah nakal. Atau anak yang nakal. Atau barangkali nama Jangoi hanya diberikan sebagai nama tokoh dalam cerita ini, itupun tak begitu pasti.
Syahdan alkisah, menurut yang empunya cerita kehidupan masyarakat di Pulau Penyengat sangatlah harmonis dan bahagia. Masyarakatnya ramah tamah, bersopan santun, dan saling kasih mengasihi antara satu sama lainnya. Kebahagiaan kehidupan mereka agak terganggu ketika munculnya seorang anak yang bernama jangoi.
Jangoi adalah julukan untuk anak yang nakal, yang suka mengusik orang. Apalagi mengusik anak dara, tak perduli pagi, siang, petang ataupun malam. Di saat orang menjaring, Jangoi pun suka merusak jaring orang. Alkisah, adaaaa….. saja yang dikerjakan atau diganggunya.
Pernah juga orang-orang kampong merasa geram dan marah kepada Jangoi, hingga suatu ketika Jangoi ditangkap dan diikat di sebuah pohon. Tetapi entah bagaimana, e’eh ….. tahu-tahu si Jangoi lepas dari ikatan dan menghilang. Orang kampong pun jadi heran. Padahal ikatan di pohon itu begitu kuat, tapi ternyata si Jangoi dapat melepaskan diri.
Untuk beberapa hari, sejak Jangoi di tangkap dan menghilang, keadaan kampong agak tenang. Tak pernah terdengar lagi soal si Jangoi yang suka mengganggu orang. Tapi ketentraman itu tidak lama. Rupanya entah dari mana, tahu-tahu si Jangoi muncul lagi. Kali ini kelakuannya lebih jahat. Tidak hanya suka mengganggu ataupun mengusik, tapi sengaja mengejar-ngejar anak-anak perempuan ataupun anak dara yang mau pergi atau pulang mengaji. Sehingga sebagian anak-anak dara ataupun anak-anak takut pergi untuk mengaji.
Malahan suatu ketika, pada suatu malam Jangoi bersembunyi pada sebuah pohon yang rimbun, ia memakai pakaian putih, layaknya mayat yang baru keluar dari lobang kubur. Entah mukena siapa yang dicurinya.
Begitu orang-orang pulang dari surau dan melewati pokok rimbun itu, Jangoi pun keluar dengan melompat-lompat layaknya sebagai lembaga atau hantu. Maka berhamburan berlari-lari sambil berteriak-teriak ketakutan orang-orang itu, khususnya orang perempuan dan anak-anak. Penduduk setempat sangat marah! Maka dicarilah akal untuk menangkap si Jangoi. Orang-orang kampong sengaja mengintai dan mencari kelengahan Jangoi.
Alhasil, pada suatu ketika, dapatlah si Jangoi ditangkap oleh orang kampong. Beramai-ramai orang kampong itu mengarak si Jangoi. Kedua tangannya diikat ke belakang. Sesampainya di sebuah pohon yang besar, si Jangoi diikat. Sekali ini, si Jangoi tidak ditinggal begitu saja. Melainkan dijaga oleh orang dewasa. Jaganya bergantian. Pokoknya, istilah kata orang, tak boleh leke.
“Huh! Baru kau rasa sekarang, ya? Kau tak akan dapat lepas lagi, Jangoi. Kami jaga engkau berganti-ganti,” kata orang yang menjaganya.
Apa jawab si Jangoi?
“Kalau ada orang menjaga enak juga. Engakau orang jadi pengawal aku, si Jangoi!” Ejek Jangoi.
“kurang ajar! Dasar anak bertuah!” kata si penjaganya dengan marah.
“Aku diikat, engkau orang menjaga. Engkau orang juga yang penat!” Ejek Jangoi lagi. Naik pitam juga orang yang menjaganya melihat perangai si Jangoi.
“Hei, dengar! Budak macam kau ‘ni tak perlu dilayan!” Kata si Penjaganya dengan geram.
“Tak, layan sudah! Akupun tak rugi!” Jawab si Jangoi sambil ketawa-ketawa.
“Iiih …. Kalau bukan masih budak lagi, sudah aku lumat-lumatkan, engkau ‘ni!” Begitu geramnya di Penjaga itu melihat perangai Jangoi. Adaaaa …. Saja jawabnya. Maka si Penjaga itupun tak hendak melayan si Jangoi lagi.
Memang sungguh luar biasa, istilah kata orang, tak boleh leke. Padahal orang yang menjaganya betul-betul dan dijaga secara berganti-ganti. Tapi dalam sekelip mata, si Jangoi boleh hilang dari pokok tempat ia diikat. Para penjaga kalang-kabut mencari-cari, sampai kemerata tempat. Tapi si Jangoi hilang macam di telan bumi.
Akhirnya, orang-orang kampong jadi putus asa. Mereka tak tahu lagi bagaimana untuk mencari dan menangkap si Jangoi. Orang-orang kampong sangat khawatir kalau-kalau si Jangoi muncul lagi dan buat perangai yang lebih teruk. Dan betul saja, tak sampai sepekan si Jangoi pun muncul. Sekali ini bukan anak dara, anak-anak ataupun orang perempuan, melainkan orang-orang tua pun diusik dan ditakuti-takuti. Layaknya jadi macam orang minyak!.
Suasana kampong betul-betul kelam-kabut dibuat ulah si Jangoi!. Maka akhirnya orang kampong berkumpul dengan dipimpin oleh Orang Tua di kampong itu. Mereka bermusyawarah untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
“wahai orang-orang kampong, nampaknya perangai si Jangoi, tak boleh kita diamkan begitu saja. Si Jangoi telah membuat kerusuhan di kampong kita ini!” kata Orang Tua itu.
“Kalau dapat sekali ini, kita rejam saja, Tok!” ujar salah seorang penduduk.
“Tapi si Jangoi itu masih budak-budak lagi, takkanlah hendak direjam pula!” kata penduduk yang lain.
“Memang masih budak-budak, tapi kelakuannya sudah melampau batas! Sudah membuat kampong kita ini kacau balau!” Kata salah seorang penduduk yang lainnya pula.
“Yang penting kita dapat menangkap dahulu budak yang bernama Jangoi itu. Bagaimana dan apa yang patutu kita buat, biarlah nanti kalau si Jangoi sudah tertangkap. Kita jangan biarkan lagi si Jangoi itu buat kerusuhan di kampong kita ini. Itu yang penting!” akhirnya Orang Tua yang memimpin musyawarah itu berkata.
Banyak orang kampong yang memburu dan hendak menangkap si Jangoi. Pada hari petang menjelang maghrib, si Jangoi mulai dengan perangainya mengusik orang yang akan pergi sembahyang.
Maka serentak orang-orang kampong yang sudah bersiap sedia, langsung mengejar Jangoi.
Maka terjadilah kejar-mengejar, walaupun ramai orang yang memburunya, tak mudah untuk menangkap Jangoi. Jangoi pandai menggelecek, lari sana, sembunyi di sini. Badannya pun macam belut, licin. Payah di tangkap. Tetapi dengan usaha yang gigih dari orang-orang kampong, akhirnya Jangoi dapat tertangkap.
Begitu jangoi dapat tertangkap, langsung diikat serta diapit oleh beberapa orang dewasa sehingga tak dapat lari. Langsung dibawa kehadapan Orang Tua.
“Hei Jangoi …. Aku hendak bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur …. Apa sebenarnya maksudmu suka mengganggu orang-orang kampong, hingga kelakuanmu seperti orang minyak!” Tanya Orang Tua. Tapi si Jangoi tidak menjawab, ia hanya tertawa-tawa saja.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau menjawab. Tapi beritahukan kepadaku, ilmu apa yang kamu pakai sehingga dapat melepaskan ikatan dan menghilangkan diri …” Tanya lagi si Orang Tua dengan sabar.
Ternyata si Jangoi masih belum ingin menjawab, ia masih diam dan hanya tersenyum-senyum. Orang Tua itu pun hampir habis kesabarannya, tapi masih juga ditahannya. Lalu Orang Tua itu berkata lagi,
“sekarang jelaskan apa syaratnya supaya kamu tidak boleh melepaskan diri dan menghilang lagi!”
“Benarkah orang-orang kampong ingin menyingkirkan aku dari kampong ini?” Tiba-tiba si Jangoi bicara.
“Kamu budak yang sangat nakal, yang hilang sama sekali dari kampong ini!” ujar seorang penduduk dengan geram.
“Kalau kau tak mau member tahu syaratnya, tubuhmu akan kami bakar hidup-hidup!” kata orang yang lainnya pula.
Mendengar tubuhnya mau dibakar, si Jangoi ketakutan. “Jangan, jangan dibakar. Aku tidak akan mati, tapi akan sangat menderita …”
Ujar si Jangoi ketakutan.
“Kalau begitu katakanlah syaratnya!” Ujar Orang Tua di kampong itu.
“Baiklah! Jika orang-orang kampong sangat benci padaku, dan ingin melenyapkan aku, mudah saja. Syaratnya, pisahkan tubuhku menjadi tiga bahagian. Kepala, badan dan kaki.” Jelas Jangoi menerangkan.
Mendengar penjelasan dari si Jangoi, orang-orang kampong sangat terkejut. Terumanya si Orang Tua. Sungguhnya itu hanya ingin menakuti-nakuti. Tak akan tergamak atau sampai hati mereka untuk membakar si Jangoi hidup-hidup, apalagi harus memenggal tubuh si Jangoi menjadi tiga bahagian, kepala,badan serta kaki.
Melihat orang-orang kampong sangat terkejut dan sepertinya tak sampai hati untuk memenggal dirinya menjadi tiga bahagian, si Jangoi pun berkata, “Kenapa orang-orang menjadi ketakutan dan tak sampai hati untuk memenggal aku? Kalau tubuhku tidak dipisahkan, aku tidak akan mati dan aku akan terus mengacau!” Ujar si Jangoi.
Kata-katanya, betul-betul membuat orang kampong serba salah. Kalau tidak melakukan seperti apa kata si Jangoi. Kampong tidak akan aman. Tapi kalau melakukan syarat yang dikatakan oleh Jangoi, mereka juga tak sampai hati. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya si Jangoi di bunuh. Namun orang kampong tidak mengikut arahannya dari Jangoi untuk memisahkan ketiga bahagian tubuhnya.
Akhirnya, tak sampai seminggu si Jangoi bangkit dari kuburnya, dan hidup kembali, serta mengacau orang kampong lebih dahsyat. Si Jangoi betul-betul jadi macam orang minyak.
Terpaksalah orang kampong mencari orang yang berilmu, orang pandai, untuk menangkap Jangoi. Setelah berusaha dengan keras, akhirnya si Jangoi dapat tertangkap.
“Wahai orang kampong sekaliannya, kita memang harus melakukan seperti arahan yang diberikan oleh si jangoi ini. Sebab itulah petuahnya, jika kita tidak melakukannya. Si Jangoi akan terus dengan perangkainya. Bahkan semakin hari, semakin jahat. Memang kita tak sampai hati, sebab si jangoi masih budak lagi. Demi kepentingan orang banyak, terpaksalah kita harus mengorbankan si Jangoi!” Demikian kata orang pandai itu dengan panjang lebar.
Akhirnya dengan perasaan serba salah, orang-orang kampongpun melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Jangoi. Konon, kepala Jangoi di tanam di Pulau Los, badannya di tanam di Pulau Penyengat, sedangkan kakinya di tanam di Pulau Paku. Memang sungguh ajaib!
Sejak kejadian itu si Jangoi memang tak pernah muncul lagi. Kampong itupun kembali tentram seperti semula.
Oleh sebab itu, kalau ada anak nakal, selalu disebut orang,
“Huh! Kelaku macam si Jangoi!”
*****
Cerita rakyat yang diceritakan di atas hanyalah sebagian dari cerita rakyat yang dimiliki Kepulauan Riau. Selain cerita-cerita di atas, Kepulauan Riau masih memiliki banyak cerita rakyat, antara lain, Pinang Gumba, Bidu Berjanggut, Silang Juna, Si Jambu Rakai, Jerambang, Dandan Setia Nazar Dicinta, Panglima Undan, Asal Mula Orang Maras Pindah ke Bakung, Awang Pengintai, Cerita Suku Barok, Gunung Lima Beradik, Ular Mati Ekor, Panglima Daik, Pak Belalang, Pak Pandir, Lebai Malang, Si Tanggang, Si Badang, Pulau Paku, Pulau Tapai, Jangoi, Kisah Gunung Daik dan masih banyak lagi.