JALAN CERITA MENDU
Hilang riwayat timbullah cerita
Pada zaman dahulu kala adalah sebuah kerajaan yang bernama Antarpura yang diperintahkan oleh seorang raja yang bijaksana, raja bergelar Langkedura. Rakyat seisi negeri dalam keadaan aman tentram dan berkehidupan makmur. Ini semua adalah berkat pimpinan raja yang bijaksana. Di samping itu, raja Langkedura mempunyai seorang puteri yang cantik jelita bernama Siti Mahdewi. Kecantikannya sudahlah termasyhur sampai kemana-mana negeri.
Tersebutlah pula sebuah kerajaan Antarsina yang diperintah oleh Maharaja Laksemalik. Baginda belum mempunyai seorang permaisuri. Inilah kekurangannya selain cara pemerintahannya jauh berbeda dengan raja Langkedura. Rakyat sangat takut kepada baginda karena garangnya.
Berita kecantikan puteri Siti Mahdewi sampai ke telinga raja Laksemalik. Berita ini dibawa oleh saudagar dari Yunan yang baru saja pulang berniaga di negeri Antarpura dan hendak menjadikan Siti Mahdewi sebagai permaisurinya. Utusan pinangan pun dikirim, Pahlawan yang gagah perkasa jadi utusan.
Setelah berhari-hari tibalah pahlawan utusan di negeri Antarpura langsung menyerahkan surat pinangan. Mendengar isi surat itu, Raja Langkedura tanpa berpikir panjang langsung menolaknya. Baginda menyuruh Datuk Kerani membuat surat balasan. Maka pulanglah utusan ke negerinya.
Sejak keberangkatan Pahlawan utusan, Raja Laksemalik sangat gelisah tak sabar rasanya menanti. Terbayanglah Siti Mahdewi yang cantik rupawan jadi Permaisuri idaman hatinya. Tapi apa hendak dikata, setelah utusan tiba membawa surat balasan, dunia bagaikan berubah menjadi gelap gulita, hati hancur bagaikan kaca. Rasa malu merasuk di dada. Tanpa memikirkan akibatnya, Raja Laksemalik memerintahkan hulubalang menyiapkan laskar perangnya untuk menyerang kerajaan Antarpura.
Maka terjadilah peperangan antara dua kerajaan itu. Karena angakatan perang raja Laksemalik lebih kecil dari kekuatan angkatan perang raja Langkedura jauh lebih besar, maka Laksemalik mengalami kekalahan. Seluruh angkatan perang Laksemalik mengundurkan diri. Akibat kekalahan itu raja Laksemalik berangkat ke padang percintaan memanggil sahabatnya yang sakti yaitu Pendekar Bandan. Kepadanyalah dimintai tolong. Pendekar Bandan sanggup menolong dan berjanji akan membuatkan suatu masalah. Pendekar Bandan berangkat menuju negeri Antarpura dan menunggu puteri di taman bunga.
Dari kejauhan terdengarlah tawa ria inang dan dayang berhibur diri bersama puteri. Tanpa menduga celaka akan menimpa. Tiba-tiba hari menjadi gelap gulita. Dengan ilmu sihirnya Pendekar Bandan maka berubahlah wujud diri sang puteri menjadi seekor gajah putih. Suasana gembira seketika berubah menjadi sedih. Inang serta pahlawan menjadi bingung. Akhirnya kembalilah ke istana membawa gajah putih itu. Segala kejadian diceritakan kepada raja. Hancurlah hati raja Langkedura karena puteri buntat intan gunung payungnya sudah berubah menjadi binatang. Karena tiada jalan lain, baginda memerintahkan pahlawan supaya membawa gajah putih itu ke hutan dan membunuhnya. Pahlawan menjunjung titah dan membawa gajah itu ke hutan. Akan tetapi tak sampai hatinya membunuh gajah itu, lalu ditinggalkannya saja di dalam hutan. Sambil meratap sedih tinggallah gajah putih itu di dalam hutan kesendirian.
Tersebutlah kisah dua dewa bersaudara, yaitu Dewa Mendu dan Angkaran Dewa dari kayangan dibuang ke bumi, mengembara di hutan belantara. Konon, dari cerita burung bayan dan burung cahcah, Dewa Mendu mendapat tahu tentang puteri Siti Mahdewi yang berubah menjadi gajah putih.
Pada suatu ketika bertemulah mereka dengan gajah putih yang memohon supaya Dewa Mendu sudi menolongnya. Terbitlah rasa kasihan di hati Dewa Mendu, sedangkan adiknya Angkaran Dewa melarang supaya jangan mendekati gajah putih itu, karena dikhawatirkan celaka menimpa diri. Sebaliknya Dewa Mendu tiada memperdulikan apa yang akan terjadi. Dengan suara yang lantang Dewa Mendu membangkit asal: “kalau sebenarnya aku anak mambang Dewa Kesakti, aku bernama Dewa Mendu orang bestari, ayahku bernama Semadun Dewa dan Datukku bernama Dewa Angkasa orang yang sakti. Minta diturunkan kesaktian untuk mengobat gajah putih ini! Asal sirih pulang ke gagang, asal pinang pulang ke tampuk, asal manusia kembali menjadi manusia.”
Serta merta, berubahlah wujud gajah putih itu menjadi seorang puteri yang cantik. Tercenganglah Angkaran Dewa melihati puteri itu, bergetarlah hati untuk memiliki. Kemudian puteri itu mengajak Dewa Mendu dan Angkaran Dewa menemui ayahnya.
Setibanya di istana puri maka terperanjatlah baginda melihat keadaan yang tiada dapat dipercaya itu. Maka seisi negeripun menjadi gempar dengan kejadian itu dan suasana gembira meliputi sekota negeri Antapura.
Dengan rasa syukur yang tiada terperi, diambillah keputusan oleh raja Langkedura untuk menjodohkan puteri Siti Mahdewi dengan Dewa Mendu, keramaianpun lalu diadakan untuk beberapa lama, seisi negeri bersuka ria.
Setelah selesai mengadakan upacara perkawinan selama empat puluh hari empat puluh malam, raja Langkedura bermaksud hendak barsara karena ia tahu dirinya sudah cukup tua. Akhirnya bulatlah hati, baginda mengangkat menantunya Dewa Mendu memegang tampuk pimpinan pemerintahan di dalam kerajaan Antarpura. Upacara pengangkatan Dewa Mendu dirayakan dengan tiada kurang besarnya dan resmi lah Dewa Mendu menjadi Raja Muda di kerajaan itu.
Gambaran ringkas dari cerita Hikayat Mendu di atas, berdasarkan buku Henri Chambert-Loir, Hikayat Dewa Mendu – Epopee Malayse, EFEO, Paris, 1980.
Hilang riwayat timbullah cerita
Pada zaman dahulu kala adalah sebuah kerajaan yang bernama Antarpura yang diperintahkan oleh seorang raja yang bijaksana, raja bergelar Langkedura. Rakyat seisi negeri dalam keadaan aman tentram dan berkehidupan makmur. Ini semua adalah berkat pimpinan raja yang bijaksana. Di samping itu, raja Langkedura mempunyai seorang puteri yang cantik jelita bernama Siti Mahdewi. Kecantikannya sudahlah termasyhur sampai kemana-mana negeri.
Tersebutlah pula sebuah kerajaan Antarsina yang diperintah oleh Maharaja Laksemalik. Baginda belum mempunyai seorang permaisuri. Inilah kekurangannya selain cara pemerintahannya jauh berbeda dengan raja Langkedura. Rakyat sangat takut kepada baginda karena garangnya.
Berita kecantikan puteri Siti Mahdewi sampai ke telinga raja Laksemalik. Berita ini dibawa oleh saudagar dari Yunan yang baru saja pulang berniaga di negeri Antarpura dan hendak menjadikan Siti Mahdewi sebagai permaisurinya. Utusan pinangan pun dikirim, Pahlawan yang gagah perkasa jadi utusan.
Setelah berhari-hari tibalah pahlawan utusan di negeri Antarpura langsung menyerahkan surat pinangan. Mendengar isi surat itu, Raja Langkedura tanpa berpikir panjang langsung menolaknya. Baginda menyuruh Datuk Kerani membuat surat balasan. Maka pulanglah utusan ke negerinya.
Sejak keberangkatan Pahlawan utusan, Raja Laksemalik sangat gelisah tak sabar rasanya menanti. Terbayanglah Siti Mahdewi yang cantik rupawan jadi Permaisuri idaman hatinya. Tapi apa hendak dikata, setelah utusan tiba membawa surat balasan, dunia bagaikan berubah menjadi gelap gulita, hati hancur bagaikan kaca. Rasa malu merasuk di dada. Tanpa memikirkan akibatnya, Raja Laksemalik memerintahkan hulubalang menyiapkan laskar perangnya untuk menyerang kerajaan Antarpura.
Maka terjadilah peperangan antara dua kerajaan itu. Karena angakatan perang raja Laksemalik lebih kecil dari kekuatan angkatan perang raja Langkedura jauh lebih besar, maka Laksemalik mengalami kekalahan. Seluruh angkatan perang Laksemalik mengundurkan diri. Akibat kekalahan itu raja Laksemalik berangkat ke padang percintaan memanggil sahabatnya yang sakti yaitu Pendekar Bandan. Kepadanyalah dimintai tolong. Pendekar Bandan sanggup menolong dan berjanji akan membuatkan suatu masalah. Pendekar Bandan berangkat menuju negeri Antarpura dan menunggu puteri di taman bunga.
Dari kejauhan terdengarlah tawa ria inang dan dayang berhibur diri bersama puteri. Tanpa menduga celaka akan menimpa. Tiba-tiba hari menjadi gelap gulita. Dengan ilmu sihirnya Pendekar Bandan maka berubahlah wujud diri sang puteri menjadi seekor gajah putih. Suasana gembira seketika berubah menjadi sedih. Inang serta pahlawan menjadi bingung. Akhirnya kembalilah ke istana membawa gajah putih itu. Segala kejadian diceritakan kepada raja. Hancurlah hati raja Langkedura karena puteri buntat intan gunung payungnya sudah berubah menjadi binatang. Karena tiada jalan lain, baginda memerintahkan pahlawan supaya membawa gajah putih itu ke hutan dan membunuhnya. Pahlawan menjunjung titah dan membawa gajah itu ke hutan. Akan tetapi tak sampai hatinya membunuh gajah itu, lalu ditinggalkannya saja di dalam hutan. Sambil meratap sedih tinggallah gajah putih itu di dalam hutan kesendirian.
Tersebutlah kisah dua dewa bersaudara, yaitu Dewa Mendu dan Angkaran Dewa dari kayangan dibuang ke bumi, mengembara di hutan belantara. Konon, dari cerita burung bayan dan burung cahcah, Dewa Mendu mendapat tahu tentang puteri Siti Mahdewi yang berubah menjadi gajah putih.
Pada suatu ketika bertemulah mereka dengan gajah putih yang memohon supaya Dewa Mendu sudi menolongnya. Terbitlah rasa kasihan di hati Dewa Mendu, sedangkan adiknya Angkaran Dewa melarang supaya jangan mendekati gajah putih itu, karena dikhawatirkan celaka menimpa diri. Sebaliknya Dewa Mendu tiada memperdulikan apa yang akan terjadi. Dengan suara yang lantang Dewa Mendu membangkit asal: “kalau sebenarnya aku anak mambang Dewa Kesakti, aku bernama Dewa Mendu orang bestari, ayahku bernama Semadun Dewa dan Datukku bernama Dewa Angkasa orang yang sakti. Minta diturunkan kesaktian untuk mengobat gajah putih ini! Asal sirih pulang ke gagang, asal pinang pulang ke tampuk, asal manusia kembali menjadi manusia.”
Serta merta, berubahlah wujud gajah putih itu menjadi seorang puteri yang cantik. Tercenganglah Angkaran Dewa melihati puteri itu, bergetarlah hati untuk memiliki. Kemudian puteri itu mengajak Dewa Mendu dan Angkaran Dewa menemui ayahnya.
Setibanya di istana puri maka terperanjatlah baginda melihat keadaan yang tiada dapat dipercaya itu. Maka seisi negeripun menjadi gempar dengan kejadian itu dan suasana gembira meliputi sekota negeri Antapura.
Dengan rasa syukur yang tiada terperi, diambillah keputusan oleh raja Langkedura untuk menjodohkan puteri Siti Mahdewi dengan Dewa Mendu, keramaianpun lalu diadakan untuk beberapa lama, seisi negeri bersuka ria.
Setelah selesai mengadakan upacara perkawinan selama empat puluh hari empat puluh malam, raja Langkedura bermaksud hendak barsara karena ia tahu dirinya sudah cukup tua. Akhirnya bulatlah hati, baginda mengangkat menantunya Dewa Mendu memegang tampuk pimpinan pemerintahan di dalam kerajaan Antarpura. Upacara pengangkatan Dewa Mendu dirayakan dengan tiada kurang besarnya dan resmi lah Dewa Mendu menjadi Raja Muda di kerajaan itu.
Gambaran ringkas dari cerita Hikayat Mendu di atas, berdasarkan buku Henri Chambert-Loir, Hikayat Dewa Mendu – Epopee Malayse, EFEO, Paris, 1980.