Karena sudah terlalu akrab dengan prosa dan puisi yang dibacakan riwayatnya (membaca rawi) dan didendangkan puisinya yakni tentang kebesaran Nabi Muhammad SAW, meskipun dalam bahasa Arab, orang Melayu menganggap suku pertama pada kata itu diberi nama genre kesenian ini dengan imbuhan "ber". Padahal yang sebenarnya kata berzanji berasal dari kata Al-Barzanji yaitu nama keluarga seorang bangsawan Kurdi yang menulis rangkaian prosa dan puisi yang sangat terkenal itu. Karyanya dikenal mulai dari Maroko di belahan bumi sebelah barat sampai ke Iran di belahan bumi sebelah timur. Karena berhubungan dengan membesarkan seorang tokoh paling besar dalam agama Islam yaitu Rasulullah SAW sendiri, pembacaan karya Ja’far Al-Barzanji tak boleh dipandang sebagai seni biasa. Ini adalah seni pertunjukkan yang berhubungan dengan tokoh agama yang paling dihormati tiada tolok bandingannya. Dengan demikian, nilai yang terkandung di dalamnya tentulah nilai keagamaan.
Mulanya karya Ja’far Al-Barzanji khusus dikarang untuk dipakai pada hari peringantan kelahiran Nabi Muhammad saw yang disebut Maulud. Peringatan ini sendiri sebenarnya tak dalam tradisi Islam. Baru pada 1270 Muzaffar ad-Din di Mosul, Irak, merayakannya dan sejak itu menjadi tradisi baru yang sangat luas penyebarannya. Para seniman sastra dan musik berkumpul setiap tahun di tempat-tempat tertentu untuk memperlihatkan keakhlian dan kemampuan seni mereka dalam membesarkan nabi yang dinamakan juga Sinar Gemala Mustika Alam. Meskipun bagi pengikut mahzab yagn keras, terutama para fiqih, peringatan ini dinyatakan sebagai bid’ah, banyak sekali pengikut sufi yang mengelu-elukannya. Di negeri-negeri timur peringatan Maulud seperti sudah menjadi keharusan. Dan karya Ja’far Al-Barzanji menjadi pegangan utama dalam perayaan tersebut.
Di kepulauan Riau, membaca Maulud dengan rangkaian Barzanji, Asrakal, dan atau Marhaban tak hanya dilakukan pada peringatan Maulud. Dalam hal ini, pembacaan dilakukan juga untuk membesarkan hari-hari raya Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Asyura, juga perayaan seperti nikah-kawin dan pesta tradisional. Selain itu, di Kepulauan Riau juga dilakukan usaha menerjemahkan karya tersebut.
Terjemahan karya Ja’far Al-Barzanji ke Kepulauan Riau memang tersebar luas, tetapi tak ada catatan yang menunjukkan terjemahan itu dipakai dalam upacara. Jadi, mungkin digunakan untuk memahami maknanya. Lain halnya dengan Sinar Gemala Mestika Alam karya Ali Haji yang selalu dibaca pada upacara Maulud.
Mulanya karya Ja’far Al-Barzanji khusus dikarang untuk dipakai pada hari peringantan kelahiran Nabi Muhammad saw yang disebut Maulud. Peringatan ini sendiri sebenarnya tak dalam tradisi Islam. Baru pada 1270 Muzaffar ad-Din di Mosul, Irak, merayakannya dan sejak itu menjadi tradisi baru yang sangat luas penyebarannya. Para seniman sastra dan musik berkumpul setiap tahun di tempat-tempat tertentu untuk memperlihatkan keakhlian dan kemampuan seni mereka dalam membesarkan nabi yang dinamakan juga Sinar Gemala Mustika Alam. Meskipun bagi pengikut mahzab yagn keras, terutama para fiqih, peringatan ini dinyatakan sebagai bid’ah, banyak sekali pengikut sufi yang mengelu-elukannya. Di negeri-negeri timur peringatan Maulud seperti sudah menjadi keharusan. Dan karya Ja’far Al-Barzanji menjadi pegangan utama dalam perayaan tersebut.
Di kepulauan Riau, membaca Maulud dengan rangkaian Barzanji, Asrakal, dan atau Marhaban tak hanya dilakukan pada peringatan Maulud. Dalam hal ini, pembacaan dilakukan juga untuk membesarkan hari-hari raya Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Asyura, juga perayaan seperti nikah-kawin dan pesta tradisional. Selain itu, di Kepulauan Riau juga dilakukan usaha menerjemahkan karya tersebut.
Terjemahan karya Ja’far Al-Barzanji ke Kepulauan Riau memang tersebar luas, tetapi tak ada catatan yang menunjukkan terjemahan itu dipakai dalam upacara. Jadi, mungkin digunakan untuk memahami maknanya. Lain halnya dengan Sinar Gemala Mestika Alam karya Ali Haji yang selalu dibaca pada upacara Maulud.