Wayang cecak merupakan suatu seni pertunjukkan yang paling tak meluas di antara segala macam seni pertunjukkan lainnya di Kepulauan Riau. Permainan ini berasal dari kalangan orang Cina yang banyak bermukim di Tanjungpinang dan Daik, Lingga.
Hubungan antara keluarga Kapitan Cina di Tanjungpinang dengan orang Melayu dapat ditelusuri dari sebuah karya seperti Syair Perkawinan Nak Kapitan dan serangkaian karya seperti itu. Di wilayah hukum pemerintahan Hindia-Belanda di Kota Tanjungpinang pada 1852 terdapat 1165 jiwa penduduk Cina yang sudah berusia 12 tahun ke atas. [Netscher, 1854;128]. Mereka terdiri atas dua suku bangsa yaitu suku Kwantung yang bertempat tinggal di Senggarang (disebut juga “seberang” oleh orang-orang yang tinggal di Tanjungpinang dan Penyengat dan suku lain yang tinggal di Tanjungpinang). Kelompok orang Cina dikepalai oleh seorang kapitan. Sejak 1818 Kapitan Tua (Tan Hoo) berhasil mendamaikan suku yang bermusuhan. Keberhasilan itu menambah tinggi derajat Kapitan itu pada masa pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Riau-Lingga.
Pergaulan perempuan Melayu dengan istri dan anak Kapitan Cina ini menyebabkan mereka saling memelajari kesenian masing-masing dan salah satu bentuk kesenian golongan Cina dapat memberikan gambaran tentang terjadinya penyebaran suatu bentuk kesenian yang beasal dari golongan itu. Adalah sebuah catatan tentang wayang cecak ini pada sebuah kitab yang dikarang oleh Claudine Salmon, seperti berikut:
Wayang cecah hanya merupakan suatu bentuk seni pertunjukkan yang dipertunjukkan di rumah-rumah tangga orang kaya ataupun yang berkedudukan, dan tiada begitu menyebar di tengah-tengah masyarakat. Di Pulau Penyengat sampai tahun 1940-an hanya ada seorang yang pandai memainkan seni pertunjukkan ini. Dia bernama Khadijah Terung, salah seorang istri Abu Muhammad Adnan. Konon, perempuan ini memiliki banyak ilmu gaib sehingga oleh suaminya dia disuruh menuliskan bermacam-macam jenis ilmu gaib yang dia ketahui. Hasilnya berupa sebuah manuskrip yang berjudul Perhimpunan Bagi Laki-laki dan Perempuan (Koleksi Yayasan Indera Sakti 1983 No. 09).
Dari perempuan inilah (meninggal 1950-an) perkhabaran tentang wayang cecak dapat diketahui sedikit. Khadijah Terung ialah seorang istri Abu Muhammad Adnan, dari kalangan orang kebanyakan (bukan keturunan raja). Kepadanya dipercayakan penjagaan anak-anak dan kemudian cucu-cucu suaminya. Dan, untuk pelengah waktu dia membuat boneka dari perca kain kira-kira sepanjang sejengkal yang dipelajarinya dan persentuhan dengan keluarga kapitan Cina di Tanjungpinang. Dengan sebuah ranjang miniatur sebagai pentas, Wayang Cecak dapat dimainkan utnuk mengantar cerita-cerita yang memang sudah diketahui. Boneka perca kain itu hanyalah alat untuk mengantarkan cerita yang diantaranya adalah sari dari syair-syair semacam Siti Zubaidah, Selendang Delima dan semacam itu.
Hubungan antara keluarga Kapitan Cina di Tanjungpinang dengan orang Melayu dapat ditelusuri dari sebuah karya seperti Syair Perkawinan Nak Kapitan dan serangkaian karya seperti itu. Di wilayah hukum pemerintahan Hindia-Belanda di Kota Tanjungpinang pada 1852 terdapat 1165 jiwa penduduk Cina yang sudah berusia 12 tahun ke atas. [Netscher, 1854;128]. Mereka terdiri atas dua suku bangsa yaitu suku Kwantung yang bertempat tinggal di Senggarang (disebut juga “seberang” oleh orang-orang yang tinggal di Tanjungpinang dan Penyengat dan suku lain yang tinggal di Tanjungpinang). Kelompok orang Cina dikepalai oleh seorang kapitan. Sejak 1818 Kapitan Tua (Tan Hoo) berhasil mendamaikan suku yang bermusuhan. Keberhasilan itu menambah tinggi derajat Kapitan itu pada masa pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Riau-Lingga.
Pergaulan perempuan Melayu dengan istri dan anak Kapitan Cina ini menyebabkan mereka saling memelajari kesenian masing-masing dan salah satu bentuk kesenian golongan Cina dapat memberikan gambaran tentang terjadinya penyebaran suatu bentuk kesenian yang beasal dari golongan itu. Adalah sebuah catatan tentang wayang cecak ini pada sebuah kitab yang dikarang oleh Claudine Salmon, seperti berikut:
“ada satoe njonja Tionghoa dengan anak prampocannja, golongan orang baek-baek tapi miskin, jang biasa tjari penghiopenan dengan trima oepah menjanji dan mendongeng. Beberapa njonja biasa patoengan aken ondang itoe iboe dan anak di salah satoe roemah boeat dengerkan rame-rame marika poenja dongengan dan njanjian, jang bianja diberikoetkan djoega dengan taboengan gambang…. Banjak njonja-njonja tionghoa jang pande berpantoen lantaran soedah biasa denger wajang tjokek jang meramekan pesta-pesta jang mempoenjai stock besar dari segala mathem pantoenan” (Claudine Salmon, 1985:30)
Wayang cecah hanya merupakan suatu bentuk seni pertunjukkan yang dipertunjukkan di rumah-rumah tangga orang kaya ataupun yang berkedudukan, dan tiada begitu menyebar di tengah-tengah masyarakat. Di Pulau Penyengat sampai tahun 1940-an hanya ada seorang yang pandai memainkan seni pertunjukkan ini. Dia bernama Khadijah Terung, salah seorang istri Abu Muhammad Adnan. Konon, perempuan ini memiliki banyak ilmu gaib sehingga oleh suaminya dia disuruh menuliskan bermacam-macam jenis ilmu gaib yang dia ketahui. Hasilnya berupa sebuah manuskrip yang berjudul Perhimpunan Bagi Laki-laki dan Perempuan (Koleksi Yayasan Indera Sakti 1983 No. 09).
Dari perempuan inilah (meninggal 1950-an) perkhabaran tentang wayang cecak dapat diketahui sedikit. Khadijah Terung ialah seorang istri Abu Muhammad Adnan, dari kalangan orang kebanyakan (bukan keturunan raja). Kepadanya dipercayakan penjagaan anak-anak dan kemudian cucu-cucu suaminya. Dan, untuk pelengah waktu dia membuat boneka dari perca kain kira-kira sepanjang sejengkal yang dipelajarinya dan persentuhan dengan keluarga kapitan Cina di Tanjungpinang. Dengan sebuah ranjang miniatur sebagai pentas, Wayang Cecak dapat dimainkan utnuk mengantar cerita-cerita yang memang sudah diketahui. Boneka perca kain itu hanyalah alat untuk mengantarkan cerita yang diantaranya adalah sari dari syair-syair semacam Siti Zubaidah, Selendang Delima dan semacam itu.