Permainan ini berasal dari masyarakat India Selatan yang banyak bermukim di Pulau Pinang (Penang), Semenanjung Tanah Melayu. Boria sangat populer pada Pemerintahan Sultan Riau-Lingga yang terakhir Sultan Abdul Rahman Al-Muazzam Syah (mulai memerintah dari tanggal 18 Februari 1886 di Daik, Lingga dan dimakzulkan dengan surat Abdikasi yang dibacakan di gedung Rusydiah Kelab pada 10 Februari 1911). Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat ada menyimpan contoh lirik lagu-lagu yang dinyanyikan oleh perkumpulan Boria ketika menyambut Hari Raya Puasa di depan Sultan Kerajaan Riau – Lingga itu.
Hubungan antara Kerajaan Riau dan Pulau Pinang sudah terbina sejak lama. Hubungan itu bertambah erat setelah pada pertengahan abad ke-19 rombongan haji dari Riau banyak yang berangkat ke Jeddah dengan alur perjalanan melalui Pulau Pinang dan Singapura.
Wilkinson (1959:153) mengartikan “Boria” sebagai berikut “Muharam minstrel of singer of carol. At the Muharram, esp. in Penang it is (or was) the custom for bands of serenaders in fancy dress to visit houses of prominent citizens and sing topical songs. Such bands are known as boria”.
Di Kepulauan Riau permainan Boria telah mendapat sentuhan di sana sini sehingga mempunyai ciri khas dan sedikit berbeda secara keseluruhan jika dibandingkan dengan Boria di Pulau Pinang itu. Seniman-seniman setempat telah memasukkan unsur-unsur kesenian yang memang telah lama diakrabi di daerahnya.
Jadi, kalau di tempat asalnya di Pulau Pinang (sebenarnya tempat lintasan saja karena negeri asalnya ialah India Selatan), Boria merupakan suatu kelompok yang datang berarak beramai-ramai ke rumah-rumah orang berada untuk menyanyikan lagu-lagu pujian pada bulan Muharram, di Riau Boria dimainkan pada setiap hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, peringatan naik tahta sultan, hari-hari besar pemerintahan Hindia-Belanda, dan lain-lain.
Lagu dan nyanyian yang dimainkan oleh Boria di Riau tak hanya lagu dan nyanyian yang ditiru oleh Boria Pulau Penang, tetapi ditambah dengan lagu-lagu setempat dari lagu-lagu yang dipelajari dari orkestra tentara Hindu-Belanda. Seperti dinyatakan dalam buku kronik Kerajaan Riau ketika penabalan Sultan Abdul Rahman Lingga putera Sultan Mahmud pada 1858, orkestra tentara Belanda ikut merayakannya (Netscher, 1870).
Lagi pula, unsur cerita pun secara samar-samar sudah dimasukkan ke dalam Boria olahan Riau. Namun, batang tubuh yang memperlihatkan seni pertunjukkan Boria itu dipelajari dari luar, dan negeri yang banyak didiami orang Keling, sangatlah kentara. Diantara perangkat Boria itu biasanya terdapat seorang penari yang gerak-geriknya sangatlah lucu. Penari ini seorang lelaki yang berpakaian seperti perempuan dan menari mengikut irama musik dengan gerak yang berlebih-lebihan. Inilah asal penari “Jogi”.
Boria sebagaimana yang ada di Riau sejak parohan kedua abad ke-19 ialah sekelompok orang yang berarak mengunjungi rumah-rumah orang berada yang memberikan sagu-hati yang layak. Barisan paling depan terdiri atas sekelompok orang (anak-anak) yang berpakaian seperti tentara (Eropa) pada masa itu, memerlihatkan kepandaian berbaris dan menari mengikuti irama musik dalam berbagai lagu dan irama. Rombongan pertama diikuti oleh rombongan kedua, ketiga, dan seterusnya yang terdiri atas rombongan pesilat, penari, dan ditutup dengan perarakan pengantin (biasanya kanak-kanak yang dikenakan pakaian pengantin). Makin panjang dan beragam kelompok itu, makin dipandang baik. Khusus untuk perarakan pengantin akan dinyatakan sebagai yang terbaik jika kelompok Boria menyuguhkan perarakan pengantin lengkap dengan segala macam upacara bersanding seperti nasi kunyit, bunga telur, dan kedua pengantin melaksanakan upacara bersuap-suap.
Hubungan antara Kerajaan Riau dan Pulau Pinang sudah terbina sejak lama. Hubungan itu bertambah erat setelah pada pertengahan abad ke-19 rombongan haji dari Riau banyak yang berangkat ke Jeddah dengan alur perjalanan melalui Pulau Pinang dan Singapura.
Wilkinson (1959:153) mengartikan “Boria” sebagai berikut “Muharam minstrel of singer of carol. At the Muharram, esp. in Penang it is (or was) the custom for bands of serenaders in fancy dress to visit houses of prominent citizens and sing topical songs. Such bands are known as boria”.
Di Kepulauan Riau permainan Boria telah mendapat sentuhan di sana sini sehingga mempunyai ciri khas dan sedikit berbeda secara keseluruhan jika dibandingkan dengan Boria di Pulau Pinang itu. Seniman-seniman setempat telah memasukkan unsur-unsur kesenian yang memang telah lama diakrabi di daerahnya.
Jadi, kalau di tempat asalnya di Pulau Pinang (sebenarnya tempat lintasan saja karena negeri asalnya ialah India Selatan), Boria merupakan suatu kelompok yang datang berarak beramai-ramai ke rumah-rumah orang berada untuk menyanyikan lagu-lagu pujian pada bulan Muharram, di Riau Boria dimainkan pada setiap hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, peringatan naik tahta sultan, hari-hari besar pemerintahan Hindia-Belanda, dan lain-lain.
Lagu dan nyanyian yang dimainkan oleh Boria di Riau tak hanya lagu dan nyanyian yang ditiru oleh Boria Pulau Penang, tetapi ditambah dengan lagu-lagu setempat dari lagu-lagu yang dipelajari dari orkestra tentara Hindu-Belanda. Seperti dinyatakan dalam buku kronik Kerajaan Riau ketika penabalan Sultan Abdul Rahman Lingga putera Sultan Mahmud pada 1858, orkestra tentara Belanda ikut merayakannya (Netscher, 1870).
Lagi pula, unsur cerita pun secara samar-samar sudah dimasukkan ke dalam Boria olahan Riau. Namun, batang tubuh yang memperlihatkan seni pertunjukkan Boria itu dipelajari dari luar, dan negeri yang banyak didiami orang Keling, sangatlah kentara. Diantara perangkat Boria itu biasanya terdapat seorang penari yang gerak-geriknya sangatlah lucu. Penari ini seorang lelaki yang berpakaian seperti perempuan dan menari mengikut irama musik dengan gerak yang berlebih-lebihan. Inilah asal penari “Jogi”.
Boria sebagaimana yang ada di Riau sejak parohan kedua abad ke-19 ialah sekelompok orang yang berarak mengunjungi rumah-rumah orang berada yang memberikan sagu-hati yang layak. Barisan paling depan terdiri atas sekelompok orang (anak-anak) yang berpakaian seperti tentara (Eropa) pada masa itu, memerlihatkan kepandaian berbaris dan menari mengikuti irama musik dalam berbagai lagu dan irama. Rombongan pertama diikuti oleh rombongan kedua, ketiga, dan seterusnya yang terdiri atas rombongan pesilat, penari, dan ditutup dengan perarakan pengantin (biasanya kanak-kanak yang dikenakan pakaian pengantin). Makin panjang dan beragam kelompok itu, makin dipandang baik. Khusus untuk perarakan pengantin akan dinyatakan sebagai yang terbaik jika kelompok Boria menyuguhkan perarakan pengantin lengkap dengan segala macam upacara bersanding seperti nasi kunyit, bunga telur, dan kedua pengantin melaksanakan upacara bersuap-suap.