Biasanya tungku juga disebut sebagai dapur, sedangkan dalam pengertian yang umum tungku atau dapur berarti tempat memasak. Tetapi secara khas kedua kata tersebut antara tungku dan dapur, adalah berbeda. Dapur lebih khusus kepada pengertian ruang, sedangkan tungku menyatakan lebih menyatakan kepada alat menjerangkan periuk (dan sejenisnya) untuk memasak. Dengan demikian dapur berarti ruangan di mana tungku tempat memasak diletakkan. Ruangan ini sekaliannya merupakan tempat kegiatan memasak.
Ada beberapa jenis yang disebut tungku ini, misalnya :
- Tungku Batu Tiga
- Tungku Besi Tiga
- Tungku Besi Panjang
- Sabak
Tungku Batu Tiga artinya, tungku yang terbuat dari bahan batu yang bersusun tiga. Tungku Besi Panjang adalah tungku yang terbuat dari besi panjang. Tungku Besi Tiga adalah tungku yang juga terbuat dari besi dan mempunyai kaki tiga buah. Sedangkan yang dimaksud dengan Sabak adalah tungku yang berbentuk setengah bundaran yang tertangkup, pada dua sisinya terdapat lubang tempat memasukkan kayu bakar sebelah atasnya ada lubang berbentuk lingkaran yang terbuat dari kawat kasa halus.
Ketiga jenis tungku (selain Sabak) adalah memang dipergunakan untuk memasak. Sedangkan Sabak dipergunakan untuk memasak pinang atau mengeringkan pinang, dan bukan untuk memasak makanan sehari-hari.
Pemberian nama tungku sebagian besar karena bahan pembuat tungku itu, misalnya Tungku Batu Tiga, bahan pokoknya adalah batu, Tungku Besi Panjang, bahan pokoknya adalah besi panjang ditambah dengan batu atau batu-batu untuk landasannya. Tungku Besi Tiga bahan pokoknya adalah besi. Kecuali tungku yang disebut Sabak bahan pembuatnya adalah semen, tanah dan kawat. Di samping itu ada pula tungku (tungku tiga) yang bahannya berasal dari batang kelapa, batang pisang.
Bahan untuk keperluan pembuat tungku ini pada umumnya dapat dicari sekitar tempat tinggal. Jadi tidak dibeli, sebab sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa untuk memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar lingkungan tempat hidup mereka untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Kalau sudah terpaksa baru dibeli. Karena itu di antara jenis tungku yang tersebut, yang banyak dipakai adalah jenis tungku “batu tiga” dan jenis tungku “besi panjang” sebab bahannya tidak perlu dibeli dan membuatnya mudah serta dapat dibuat sendiri.
Sedangkan tungku “besi tiga” karena mendapatkannya harus dengan membeli, sebab jenis ini tidak mudah dibuat sendiri oleh orang kabanyakan melainkan oleh pandai besi.
Tungku “sabak” bahannya harus dibeli, tetapi dapat juga dipergunakan bahan tanah (tanah lempung atau tanah liat). tetapi karena bahan tanah ini tidak tahan lama, maka dibuat orang dari bahan kawat dan semen. Membuat tungku ini tidak perlu keterampilan tinggi atau ahli, kecuali tungku “besi tiga” yang harus dibuat oleh pandai besi.
Tungku “besi tiga” dan tungku “besi panjang” dapat dibuat dengan mudah asal bahannya sudah tersedia. Tiga buah batu kali atau batu gunung yang sama besarnya disusun dalam susunan segitiga sama sisi, menjadilah sebuah tungku tempat memasak. demikian pula tungku “besi panjang”, apabila bahannya berupa dua batang besi panjang bulat atau persegi dan batu landasannya berupa batu bata sudah tersedia, maka mudah dibuat sebuah tungku. Dengan menyusun batu bata dua atau tiga buah (berlengget ke atas) dengan jarak kira-kira 60 cm, dan kedua batangan besi tadi diletakkan melintang sejajar di atasnya, maka terbentuklah sebuah tungku tempat memasak.
Membuat tungku “besi tiga” sebenarnya bukanlah pekerjaan yang susah pula. Sebuah lingkaran besi ukuran besar jari kelingking dengan garis tengah sekitar 20 cm, diberi berkaki tiga dengan bahan yang sama setinggi kira-kira 20 cm, maka jadilah sebuah tungku.
Semua tungku dapur tersebut diletakkan diatas abu dalam sebuah bak dapur yang disebut “kungkung dapur”. Kungkung dapur ada yang diberi bertiang ada pula yang tidak, jadi terletak di atas tanah atau lantai.
Tungku “sabak” dibuat dengan cara membuat cetakkannya terlebih dahulu. Cetakkannya ini dibuat dua lapis, yaitu bagian luar dan dalam yang besarnya berbeda kira-kira empat atau lima sentimeter, yaitu setebal tungku yang diharapkan cetakkannya ini berupa setengah lingkaran, dengan garis tengah kira-kira 60 cm. puncaknya dipotong sebesar kira-kira (garis tengahnya) 30 – 40 cm. pada sisi samping diberi berlubang berbentuk lengkung ke bawah.
Bahan semen yang diaduk dengan pasir secukupnya dimasukkan ke dalam lubang sela-sela cetakkan yang sudah diisi dengan kawat kasa halus sebagai penguat (kerangka). Semen itu dibiarkan keras selama dua atau tiga hari, kemudian kayu cetakkannya dibuka. Kemudian jadilah sebuah tungku “sabak” yang siap untuk dipergunakan. Tungku ini biasannya dibuat di atas tanah pada sebuah bangsal yang terletak di belakang dapur yang khusus dipergunakan untuk mengerjakan mengeringkan atau memasak pinang untuk di jual.
Dapur dalam pengertian yang umum merupakan suatu ruangan tempat melakukan kegiatan memasak atau makan sehari-hari dari suatu keluarga. Dalam pengertian yang khusus dapur berarti pula tempat meletakkan tungku untuk memasak. Dalam uraian berikut dapur diartikan sebagaimana yang dimaksud terakhir, yaitu sebuah tempat dimana tungku tempat memasak, sebab dalam pengertian yang pertama mengenai dapur telah diuraikan pada bagian terdahulu.
Dapur orang Melayu Kepulauan Riau sebagaimana yang ditemukan dibeberapa tempat penelitian, bentuk atau cara membuat dan syarat-sayaratnya (hal ini berkaitan dengan pantang, larang, penangkal untuk menjaga keselamatan dapur) mempunyai atauran dan ketentuan tertentu.
Dapur ini merupakan bangunan sederhana yang bertiang empat buah. Setinggi kira-kira 70 – 80 cm di atas tanah atau lantai, ada lantai berupa bak yang berisi abu (berasal dari tanah) yang berguna sebagai dapur. Di bagian atas kira-kira satu meter atau lebih ada para. Para ini kadang-kadang ada yang dua tingkat, ada yang hanya satu tingkat.
Dapur ini diperbuat dari bahan kayu. Kayu untuk bahan dapur ini tak boleh ditebang waktu bulan terang, sebab menurut kepercayaan setempat kayu seperti ini lekas lapuk dimakan kumbang atau rasai. Menebangnya jangan pula dilakukan pada hari Rabu, sebab hari tersebut dianggap hari na’as, hari yang kurang baik.
Bak dapur (berukuran kira-kira 1,50 x 1,00 x 0,25 m) harus diisi dengan tanah, dengan syarat tidak boleh sembarang tanah, misalnya tanah pelimbahan, tanah busut atau sarang anai-anai. Melainkan tanah yang baik yaitu tanah bikit (kuning) dan tidak berbatu. Mengambilnya harus diwaktu tubuh kita dalam keadaan suci dari najis, tak berhadas besar (berudhuk). Sebaiknya di waktu pagi saat matahari sedang naik, jangan dikala matahari turun. Di waktu mengisi tanah itu jangan terinjak dengan kaki, dan mendatarkan atau meratakan tanah itu pergunakan tangan. Melakukan pekerjaan ini senantiasa dimulai dengan membacakan “Bismillah hirohmannir Rahim” dan salawat nabi tiga kali.
Setelah bak dapur diisi dengan tanah pada keempat sudutnya diletakkan serai sebatang pada tubuh. Syarat-syarat lain yang harus juga dipenuhi adalah meletakkan ramuan dipusat (bagian tengah) dasar bak dapur.
Lantai bak itu biasanya dari bahan papan atau kayu nibung yang diberi alas tikar pandan. Di atas tikar pandan di pusatnya di buat lingkaran dengan tali purun (tali “keledai” pada zaman dahulu). Isi lingkaran itu adalah serba sedikit diberikan asam, garam, lada, bawang, gula, kopi, buah keras, paku, jarum, uang sen (logam) dan sebagainya.
Bahan ramuan ini berguna untuk “mengkase” (menolak) gangguan hantu syaitan, “Jembanglang tanah” sewaktu memasak.
Bahagian dapur yang terpenting selain tempat tungku adalah para-para. Bagian ini berguna sebagai tempat mengeringkan dan menyimpan bahan bakar serta tempat menggantungkan “kampil” atau bakul kecil tempat menyimpan rempah masakan seperti kunyit, serai bawang, lada, garam dan sebagainya. Tiang dapur dapat pula dipergunakan tempat menyisipkan sendok memasak dan lain-lain. Ruang di bawah dapur yang disebut “kolong dapur” dipergunakan untuk menyimpan kayu bahan bakar.
Menurut kepercayaan orang Melayu Kepulauan Riau, khususnya di daerah Kepulauan Kundur, Karimun, dan Moro, dapat merupakan simbol kesejahteraan keluarga, lambang perut keluarga, rezeki keluarga, mencakup lambang kesejahteraan masyarakat setempat.
Kononnya dipercayai akan kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan terutama yang berhubungan kesejahteraan hidup. Oleh karena perlakuan terhadap dapur atau tungku banyak diwarnai oleh kepercayaan gaib tersebut. Maka diwujudkan kepercayaan itu dengan “pantang-larang”, “tangkal”, atau “penangkal” yang harus diikuti secara patuh tanpa mempertanyakan sebab musababnya, masuk akal atau tidak (sebab pantang-larang dan penangkal itu banyak yang tak masuk akal). Dipercayai bahwa dapur mempunyai “semangat”, ada “makna”nya. Makna ini akan hilang kalau tidak dijaga dengan baik. Apabila semangat atau makna itu hilang (karena terlanggar pantangan misanya) maka akan merajalelalah hantu setan dapur, yaitu yang disebut hantu “pisau-raut”. Nama ini diberikan menurut keyakinan masyarakat bahwa pada kedua belah siku hantu itu terdapat benda tajam seperti pisau raut.
Bukti bahwa hantu itu ada menurut kepercayaan penduduk, kalau malam sepi dan suasana tenang diatas dapur masih ada bara api sekali-kali bara api itu bercahaya seperti ada yang meniupnya. Tanda-tanda lain adalah keluarga sering sakit-sakitan, kalau sakit sulit sembuh, rezeki keluarga bertambah sempit, masyarakat menjauh, hidup sengsara, dan keluarga selalu berantakan.
Untuk menjaga supaya terhindar dari bahaya yang berasal dari hantu setan tersebut, perlu dijaga pantang-larangnya, dan kalau sudah ada tanda-tanda bahwa hantu “pisau-raut” sudah mengganggu, maka diadakanlah upacara “tolak bala”.