Sebagaimana umumnya rumah orang Melayu di daerah pesisir di sepanjang pantai Timur Pulau Sumatera, kemudian juga di beberapa daerah seperti di Bagan Siapi-api, Bengkalis, Selat Panjang, Tembilahan, Kuala Enok dan lain-lain, rumah tradisional orang Melayu di kepulauan Riau sendiri termasuk golongan rumah nelayan. Bangunannya berbentuk rumah panggung berbubung (panjang) dan beratap limas.
Di daerah pantai yang berawa-rawa rumah didirikan di atas tiang yang lebih tinggi agar tak terkena oleh air pasang (naik). Tingginya kadang-kadang sampai 2 atau 3 meter lebih dari tanah yang kalau pasang surut penuh dengan lumpur. Keadaan lingkungan rumah yang berawa-rawa ini kebanyakan terdapat di daerah sungai Rokan, Siak, Kampar, Inderagiri dan Enok, yang pada umumnya di sepanjang pantai Timur Sumatera. Tetapi ada juga disebahagian daerah-daerah, tidaklah demikian. Yaitu ada rumah–rumah yang didirikan di atas tanah keras di pinggir-pinggir pantai yang berpasir. Seperti di kepulauan Riau pada umumnya.
Pola pemukiman penduduk di daerah ini mengikuti alur jalan lalu-lintas umum yang terdapat di sepanjang pantai ataupun daratan di sesuatu pulau. Pada umumnya rumah itu menghadap ke jalan umum yang membentang di sepanjang kampung atau desa.
Tempat dapur rumah tradisional penduduk daerah ini terdapat di bagian belakang. Antara rumah dan dapur terdapat ruang pemisah berupa gang yang disebut “gajah menyusu” atau “susur pandan”. Ruang ini merupakan serambi penghubung antara ruang rumah dengan ruang dapur.
Tungku tempat memasak tidak hanya terdapat di ruang dapur, tetapi juga pada tempat lain di luar dapur. Bangunan ini terpisah dari dapur, terletak kira-kira sepuluh meter di sebelah belakang. Namanya bangsal masak luar rumah. Bersebelahan dengan bangsal masak ini, pada sisi kanan atau kiri biasanya ada pula bangunan lain yaitu bangsal kerja untuk menggiling karet. Di belakang bangsal gilingan karet ini terdapat sumur tempat mandi yang diberi dinding seng atau atap daun nipah dan sebangsanya. Di daerah bagian belakang rumah atau dapur ini terdapat pula bangunan “kakus” tempat buang air (wc/toilet).
Antara jalan dan rumah terdapat lapangan halaman pekarangan rumah. Halaman depan dekat pinggir jalan biasanya diberi berpagar hidup. Begitu pula bekas pekarangan dengan tanah/pekarangan tetangga sebelahnya kadang-kadang berpagar, tetapi kebanyakan tidak. Jalan melalui samping rumah biasanya tidak ada. Sebab di daerah bagian belakang tidak ada lagi rumah tempat tinggal orang. Di daerah ini terdapat kebun-kebun karet atau kebun lainnya.
Kalau memelihara ternak seperti ayam, itik dan sebagainya, kandang ternak itu di bangun di belakang dapur. Kandang ini adakalanya terpisah dari dapur, tetapi kadang-kadang menempel ke bangunan lain, misalnya pada dapur atau bangsal memasak.
Di sekitar pekarangan, kadang-kadang terdapat pokok buah-buahan atau kelapa untuk keperluan sehari-hari. Keadaan seperti yang digambarkan itu, tentunya tidak seluruhnya demikian, namun begitu demikianlah kira-kira gambaran umum situasi lingkungan dapur dan pekarangan rumah orang Melayu di desa-desa atau kampung yang tinggal di sebelah darat. Akan sangat berbeda dengan yang bermukim di sepanjang pantai.
Dapur senantiasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu rumah tangga, termasuk rumah tangga orang Melayu Riau Kepulauan. Oleh masyarakat setempat, dapur secara simbolis dianggap merupakan pelambang kesejahteraan keluarga. Lebih konkrit lagi sebagai lambang perut keluarga, rezeki keluarga, yaitu mencakup hasil kebun dan jerih payah usaha keluarga. Bahkan merupakan lambang kesejahteraan masyarakat daerah setempat.
Oleh karena itu, orang Melayu Kepulauan Riau mempunyai kepercayaan yang kuat akan “semangat” atau “nama” yang terdapat pada setiap dapur. Kalau “semangat” tidak dipelihara dengan baik maka ia akan hilang. Dan ini berarti hantu atau setan dapur, dinamakan “hantu pisau raut” (disebut demikian karena menurut keyakinan masyarakat ke dua belah siku hantu tajam seperti pisau raut) akan merajalela, dan oleh karena itu kesejahteraan keluarga terancam.
Mungkin karena mempunyai perasaan yang sedemikian itu, maka dapur diperlakukan dengan cara yang khusus dalam tradisi kehidupan masyarakat. Perlakuan khusus ini tidak saja berhubungan dengan pantang dan larangan yang erat hubungannya dengan tingkah laku penghuninya, tetapi juga dalam membangun dan menetapkan tempat dapur dalam lingkungan rumah tangga.
Dalam susunan rumah tangga penduduk, dapur harus dibangun pada permukaan tanah yang baik, tidak boleh terletak diatas bekas sumur yang telah ditutup, misalnya, dan bebas dari rintangan. Dapur harus dibuat dari bahan kayu yang baik, tahan lama, dan mempunyai syarat-syarat tertentu ketika mengambil atau meramunya di hutan. Misalnya, hari rabu atau saat bulan terang adalah pantang menebang kayu untuk bahan pembuat dapur. Ketika ditebang, kayu tak boleh tertimpa kepada kayu lain, tumbangnya harus baik tak ada penghalang.
Menurut susunan ruang rumah, dapur senantiasa berada dibelakang. Ia merupakan bangunan yang tersendiri dan dihubungkan dengan rumah oleh sebuah gang yang dinamakan “susur pandan” atau “gajah menyusu”. Pada dinding kiri dan kanan, dapur diberi jendela dan di belakang sebuah pintu keluar. Di depan pintu dapur ini terdapat “pelantar” tempat mencuci piring mangkuk. Pintu ini khusus untuk keperluan keluarga saja, tamu tidak dibenarkan lewat pintu ini.
Susunan ruang rumah biasanya terdiri atas beberapa ruang, antara lain beranda, anjungan pada bagian depan yang menghadap tangga. Arah ke dalam terdapat ruang beranda dalam yang luas membujur ke kiri-kanan rumah dan mendapat cahaya penerang dari sinar matahari siang melalui jendela di sisi kiri dan kanan ruang itu. Sebelah belakang ruang ini terdapat kamar tidur dua buah yang di antarai oleh ruang tengah yang berujung ke ruang beranda belakang. Pada satu sisi ruang ini terdapat sebuah pintu yang menuju ke suatu ruangan yang dinamakan “ketapak samping”. Pada setiap sisi ruangan ini terdapat jendela, dan kesebuah pintu menuju gang serambi penghubung bernama “susur pandan”.
Walaupun tidak semua rumah mempunyai susunan atau tata ruang demikian, sebab tidak semua ruang yang ada di kampung serupa bentuk dan susunannya, namun demikianlah gambaran tempat dapur dalam hubungannya dengan lingkungan rumah tangga tradisional.
Di daerah pantai yang berawa-rawa rumah didirikan di atas tiang yang lebih tinggi agar tak terkena oleh air pasang (naik). Tingginya kadang-kadang sampai 2 atau 3 meter lebih dari tanah yang kalau pasang surut penuh dengan lumpur. Keadaan lingkungan rumah yang berawa-rawa ini kebanyakan terdapat di daerah sungai Rokan, Siak, Kampar, Inderagiri dan Enok, yang pada umumnya di sepanjang pantai Timur Sumatera. Tetapi ada juga disebahagian daerah-daerah, tidaklah demikian. Yaitu ada rumah–rumah yang didirikan di atas tanah keras di pinggir-pinggir pantai yang berpasir. Seperti di kepulauan Riau pada umumnya.
Pola pemukiman penduduk di daerah ini mengikuti alur jalan lalu-lintas umum yang terdapat di sepanjang pantai ataupun daratan di sesuatu pulau. Pada umumnya rumah itu menghadap ke jalan umum yang membentang di sepanjang kampung atau desa.
Tempat dapur rumah tradisional penduduk daerah ini terdapat di bagian belakang. Antara rumah dan dapur terdapat ruang pemisah berupa gang yang disebut “gajah menyusu” atau “susur pandan”. Ruang ini merupakan serambi penghubung antara ruang rumah dengan ruang dapur.
Tungku tempat memasak tidak hanya terdapat di ruang dapur, tetapi juga pada tempat lain di luar dapur. Bangunan ini terpisah dari dapur, terletak kira-kira sepuluh meter di sebelah belakang. Namanya bangsal masak luar rumah. Bersebelahan dengan bangsal masak ini, pada sisi kanan atau kiri biasanya ada pula bangunan lain yaitu bangsal kerja untuk menggiling karet. Di belakang bangsal gilingan karet ini terdapat sumur tempat mandi yang diberi dinding seng atau atap daun nipah dan sebangsanya. Di daerah bagian belakang rumah atau dapur ini terdapat pula bangunan “kakus” tempat buang air (wc/toilet).
Antara jalan dan rumah terdapat lapangan halaman pekarangan rumah. Halaman depan dekat pinggir jalan biasanya diberi berpagar hidup. Begitu pula bekas pekarangan dengan tanah/pekarangan tetangga sebelahnya kadang-kadang berpagar, tetapi kebanyakan tidak. Jalan melalui samping rumah biasanya tidak ada. Sebab di daerah bagian belakang tidak ada lagi rumah tempat tinggal orang. Di daerah ini terdapat kebun-kebun karet atau kebun lainnya.
Kalau memelihara ternak seperti ayam, itik dan sebagainya, kandang ternak itu di bangun di belakang dapur. Kandang ini adakalanya terpisah dari dapur, tetapi kadang-kadang menempel ke bangunan lain, misalnya pada dapur atau bangsal memasak.
Di sekitar pekarangan, kadang-kadang terdapat pokok buah-buahan atau kelapa untuk keperluan sehari-hari. Keadaan seperti yang digambarkan itu, tentunya tidak seluruhnya demikian, namun begitu demikianlah kira-kira gambaran umum situasi lingkungan dapur dan pekarangan rumah orang Melayu di desa-desa atau kampung yang tinggal di sebelah darat. Akan sangat berbeda dengan yang bermukim di sepanjang pantai.
Dapur senantiasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu rumah tangga, termasuk rumah tangga orang Melayu Riau Kepulauan. Oleh masyarakat setempat, dapur secara simbolis dianggap merupakan pelambang kesejahteraan keluarga. Lebih konkrit lagi sebagai lambang perut keluarga, rezeki keluarga, yaitu mencakup hasil kebun dan jerih payah usaha keluarga. Bahkan merupakan lambang kesejahteraan masyarakat daerah setempat.
Oleh karena itu, orang Melayu Kepulauan Riau mempunyai kepercayaan yang kuat akan “semangat” atau “nama” yang terdapat pada setiap dapur. Kalau “semangat” tidak dipelihara dengan baik maka ia akan hilang. Dan ini berarti hantu atau setan dapur, dinamakan “hantu pisau raut” (disebut demikian karena menurut keyakinan masyarakat ke dua belah siku hantu tajam seperti pisau raut) akan merajalela, dan oleh karena itu kesejahteraan keluarga terancam.
Mungkin karena mempunyai perasaan yang sedemikian itu, maka dapur diperlakukan dengan cara yang khusus dalam tradisi kehidupan masyarakat. Perlakuan khusus ini tidak saja berhubungan dengan pantang dan larangan yang erat hubungannya dengan tingkah laku penghuninya, tetapi juga dalam membangun dan menetapkan tempat dapur dalam lingkungan rumah tangga.
Dalam susunan rumah tangga penduduk, dapur harus dibangun pada permukaan tanah yang baik, tidak boleh terletak diatas bekas sumur yang telah ditutup, misalnya, dan bebas dari rintangan. Dapur harus dibuat dari bahan kayu yang baik, tahan lama, dan mempunyai syarat-syarat tertentu ketika mengambil atau meramunya di hutan. Misalnya, hari rabu atau saat bulan terang adalah pantang menebang kayu untuk bahan pembuat dapur. Ketika ditebang, kayu tak boleh tertimpa kepada kayu lain, tumbangnya harus baik tak ada penghalang.
Menurut susunan ruang rumah, dapur senantiasa berada dibelakang. Ia merupakan bangunan yang tersendiri dan dihubungkan dengan rumah oleh sebuah gang yang dinamakan “susur pandan” atau “gajah menyusu”. Pada dinding kiri dan kanan, dapur diberi jendela dan di belakang sebuah pintu keluar. Di depan pintu dapur ini terdapat “pelantar” tempat mencuci piring mangkuk. Pintu ini khusus untuk keperluan keluarga saja, tamu tidak dibenarkan lewat pintu ini.
Susunan ruang rumah biasanya terdiri atas beberapa ruang, antara lain beranda, anjungan pada bagian depan yang menghadap tangga. Arah ke dalam terdapat ruang beranda dalam yang luas membujur ke kiri-kanan rumah dan mendapat cahaya penerang dari sinar matahari siang melalui jendela di sisi kiri dan kanan ruang itu. Sebelah belakang ruang ini terdapat kamar tidur dua buah yang di antarai oleh ruang tengah yang berujung ke ruang beranda belakang. Pada satu sisi ruang ini terdapat sebuah pintu yang menuju ke suatu ruangan yang dinamakan “ketapak samping”. Pada setiap sisi ruangan ini terdapat jendela, dan kesebuah pintu menuju gang serambi penghubung bernama “susur pandan”.
Walaupun tidak semua rumah mempunyai susunan atau tata ruang demikian, sebab tidak semua ruang yang ada di kampung serupa bentuk dan susunannya, namun demikianlah gambaran tempat dapur dalam hubungannya dengan lingkungan rumah tangga tradisional.