Kalangan orang tua pada masyarakat Melayu Kepulauan Riau umumnya, secara mutlak menekankan anak-anaknya pandai membaca Al-Qur’an. Hal ini tidak dibedakan baik pada laki-laki maupun perempuan. Belajar membaca Al-Qur’an, menjadi bagian budaya terpenting bagi masyarakat Melayu di daerah ini. Ini dianggap sebagai bagian terpenting dalam kehidupan untuk mendambakan anak menjadi manusia yang shaleh. Oleh karena itu kalangan orang tua mengharuskan anaknya pergi mengaji setiap hari ke rumah Cik Gu atau guru yang mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an yang terdapat di lingkungan pemukiman.
Menurut pandangan masyarakat Melayu, kepandaian membaca Al-Qur’an menjadi dasar bagi seseorang untuk dapat menjalankan perintah agama seperti halnya shalat lima waktu.
Dari kecil cincilak padi,
Sudah besar cincilak padang,
Dari kecil duduk mengaji,
Sudah besar tegak sembahyang.
Dalam Al-Qur’an berisi petunjuk yang dapat dijadikan pedoman membentuk jiwa yang Islami. Kepandaian membaca Al-Qur’an sebagai persyaratan yang penting bagi bujang dan dara untuk berkahwin atau mendirikan rumah tangga, baik buat laki-laki maupun perempuan.
Orang tua di kalangan masyarakat Melayu, akan merasa bahagia sekali apabila anaknya pandai membaca Al-Qur’an. Sesungguhnya inilah salah satu tuntutan/tuntunan hidup diberikan kepada anak. Ini dapat dijadikan landasan menapak hidup buat anak setelah dewasa. Anak akan sulit mendapat jodoh jika tidak pandai membaca Al-Qur’an. Sebab hal ini, menjadi bagian pelaksanaan adat perkawinan. Bagi anak dara, untuk menikah dan menjalankan adat atau tradisi khatam Al-Qur’an, telah menjadi budaya yang berketetapan pada masyarakat Melayu. Oleh sebab itu, orang tua di kalangan masyarakat bersangkutan, menekankan anak perempuan harus pandai membaca Al-Qur’an, baru diperkenankan kawin. Sebab hal ini, bagian unsur pembentukan adat-istiadat perkawinan yang dikuasai.
Adat-istiadat perkawinan Melayu selalunya bernafaskan Islam. Oleh karenanya untuk melangsungkan akad nikah sekaligus pesta perkawinan, calon pengantin perempuan berkhatam terlebih dahulu. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk upacara. Tempatnya di rumah calon pengantin perempuan, waktunya pagi hari. Pelaksanaannya melibatkan khalayak ramai.
Pada hari pelaksanaan khatam Al-Qur’an, para jemputan atau undangan hadir. Laki-laki dan perempuan duduk terpisah. Khalayak terlibat melaksanakan upacara tersebut, semuanya pandai membaca Al-Qur’an. Pemimpin upacara adalah guru mengaji sang calon pengantin perempuan.
Setelah pelaksanaan upacara, calon pengantin perempuan keluar dari kamarnya diapit dua orang sahabatnya yang terdiri dari kalangan perempuan. Mereka berpakaian baju kurung, marhamah, selendang kelingkang atau tudung manto. Pada ruangan tempat upacara, pihak yang dikhatamkan beserta dua sahabatnya duduk di atas tilam yang berada dekat “tabak” di depan “petirakhna”.
Guru mengaji calon pengantin perempuan membimbing hadirin membaca ayat-ayat pendek. Sang calon pengantin membaca surat-surat atau ayat pendek yang terdapat dalam Al-Qur’an yang sudah dibuka dihadapannya. Selanjutnya membaca doa khatam Al-Qur’an yang dipimpin guru mengaji sang pengantin. Akan tetapi adakalanya hal ini dilakukan oleh semua hadirin. Kitab Al-Qur’an secara bergilir dipegang dan dibaca hadirin. Adapun sang calon pengantin, menyimak bacaan sambil menunjuk huruf-huruf dengan lidi kalam yang telah dipersiapkan. Khatam selesai, guru mengaji atau imam membaca do’a. Usai pembacaan do’a, hidangan dikeluarkan untuk disuguhkan kepada segenap pelaksana upacara khatam. Hidangan berupa kue yang terdiri dari beberapa jenis diletakkan pada baki atau talam. Satu talam untuk dimakan sebanyak 5 orang. Adapun calon pengantin perempuan dibawa masuk ke biliknya oleh Mak Inang. Dalam bilik itulah dia menyantap makanan yang telah dipersiapkan.
Selesai makan tambul, hadirin termasuk guru mengaji sang calon pengantin salin bersalaman terutama kepada tuan rumah dan pulang ke rumah masing-masing. Tidak lama kemudian, pihak calon pengantin perempuan mengutus beberapa orang kerabatnya pergi ke rumah guru mengaji sang calon pengantin tersebut. Para utusan membawa makanan berupa pulut kuning, bunga telur ditempatkan pada pahar atau talam berkaki dan sebuah talam lagi berisi seperangkat alat sembahyang yakni : kain sarung pelikat, sajadah, kopiah atau peci atau mukena, dan payung. Semua itu dipersembahkan kepada guru mengaji, sebagai pertanda ucapan terima kasih orang tua dan calon pengantin terhadap guru tersebut. Berkat didikan dia sang calon pengantin pandai membaca Al-Qur’an. Hal ini merupakan prosesi terakhir dari upacara berkhatam Al-Qur’an mewarnai adat-istiadat perkawinan Melayu.
Menurut pandangan masyarakat Melayu, kepandaian membaca Al-Qur’an menjadi dasar bagi seseorang untuk dapat menjalankan perintah agama seperti halnya shalat lima waktu.
Dari kecil cincilak padi,
Sudah besar cincilak padang,
Dari kecil duduk mengaji,
Sudah besar tegak sembahyang.
Dalam Al-Qur’an berisi petunjuk yang dapat dijadikan pedoman membentuk jiwa yang Islami. Kepandaian membaca Al-Qur’an sebagai persyaratan yang penting bagi bujang dan dara untuk berkahwin atau mendirikan rumah tangga, baik buat laki-laki maupun perempuan.
Orang tua di kalangan masyarakat Melayu, akan merasa bahagia sekali apabila anaknya pandai membaca Al-Qur’an. Sesungguhnya inilah salah satu tuntutan/tuntunan hidup diberikan kepada anak. Ini dapat dijadikan landasan menapak hidup buat anak setelah dewasa. Anak akan sulit mendapat jodoh jika tidak pandai membaca Al-Qur’an. Sebab hal ini, menjadi bagian pelaksanaan adat perkawinan. Bagi anak dara, untuk menikah dan menjalankan adat atau tradisi khatam Al-Qur’an, telah menjadi budaya yang berketetapan pada masyarakat Melayu. Oleh sebab itu, orang tua di kalangan masyarakat bersangkutan, menekankan anak perempuan harus pandai membaca Al-Qur’an, baru diperkenankan kawin. Sebab hal ini, bagian unsur pembentukan adat-istiadat perkawinan yang dikuasai.
Adat-istiadat perkawinan Melayu selalunya bernafaskan Islam. Oleh karenanya untuk melangsungkan akad nikah sekaligus pesta perkawinan, calon pengantin perempuan berkhatam terlebih dahulu. Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk upacara. Tempatnya di rumah calon pengantin perempuan, waktunya pagi hari. Pelaksanaannya melibatkan khalayak ramai.
Pada hari pelaksanaan khatam Al-Qur’an, para jemputan atau undangan hadir. Laki-laki dan perempuan duduk terpisah. Khalayak terlibat melaksanakan upacara tersebut, semuanya pandai membaca Al-Qur’an. Pemimpin upacara adalah guru mengaji sang calon pengantin perempuan.
Setelah pelaksanaan upacara, calon pengantin perempuan keluar dari kamarnya diapit dua orang sahabatnya yang terdiri dari kalangan perempuan. Mereka berpakaian baju kurung, marhamah, selendang kelingkang atau tudung manto. Pada ruangan tempat upacara, pihak yang dikhatamkan beserta dua sahabatnya duduk di atas tilam yang berada dekat “tabak” di depan “petirakhna”.
Guru mengaji calon pengantin perempuan membimbing hadirin membaca ayat-ayat pendek. Sang calon pengantin membaca surat-surat atau ayat pendek yang terdapat dalam Al-Qur’an yang sudah dibuka dihadapannya. Selanjutnya membaca doa khatam Al-Qur’an yang dipimpin guru mengaji sang pengantin. Akan tetapi adakalanya hal ini dilakukan oleh semua hadirin. Kitab Al-Qur’an secara bergilir dipegang dan dibaca hadirin. Adapun sang calon pengantin, menyimak bacaan sambil menunjuk huruf-huruf dengan lidi kalam yang telah dipersiapkan. Khatam selesai, guru mengaji atau imam membaca do’a. Usai pembacaan do’a, hidangan dikeluarkan untuk disuguhkan kepada segenap pelaksana upacara khatam. Hidangan berupa kue yang terdiri dari beberapa jenis diletakkan pada baki atau talam. Satu talam untuk dimakan sebanyak 5 orang. Adapun calon pengantin perempuan dibawa masuk ke biliknya oleh Mak Inang. Dalam bilik itulah dia menyantap makanan yang telah dipersiapkan.
Selesai makan tambul, hadirin termasuk guru mengaji sang calon pengantin salin bersalaman terutama kepada tuan rumah dan pulang ke rumah masing-masing. Tidak lama kemudian, pihak calon pengantin perempuan mengutus beberapa orang kerabatnya pergi ke rumah guru mengaji sang calon pengantin tersebut. Para utusan membawa makanan berupa pulut kuning, bunga telur ditempatkan pada pahar atau talam berkaki dan sebuah talam lagi berisi seperangkat alat sembahyang yakni : kain sarung pelikat, sajadah, kopiah atau peci atau mukena, dan payung. Semua itu dipersembahkan kepada guru mengaji, sebagai pertanda ucapan terima kasih orang tua dan calon pengantin terhadap guru tersebut. Berkat didikan dia sang calon pengantin pandai membaca Al-Qur’an. Hal ini merupakan prosesi terakhir dari upacara berkhatam Al-Qur’an mewarnai adat-istiadat perkawinan Melayu.