Perang Dunia II yang mencapai puncaknya tahun 1942 di Asia, memberikan bahangnya yang cepat kepada Riau (Kepulauan Riau) dan Tanjungpinang khususnya, karena dekatnya dengan semenanjung Malaya (sekarang Malaysia) dan Singapura. Pada bulan Desember 1941, Jepang sudah mulai menjamah semenanjung Malaya. Tanggal 15 Pebruari 1942 Singapura jatuh ke tangan Jepang. Dan Riau (Kepulauan Riau), khasnya Tanjungpinang, seminggu kemudian yaotu tanggal 21 Pebruari 1942 Jepang muncul. Adapun Jepang masuk dari dua arah yaitu yang langsung ke pelabuhan Tanjungpinang dan dari arah Kijang.
Dekatnya jarak antara Tanjungpinang dengan Singapura memudahkan kepada pihak Belanda untuk mengetahui lebih cepat akan kedatangan Jepang kemudian dengan cepat pula bersiap-siap untuk meninggalkan Tanjungpinang. Sehingga, begitu serdadu-serdadu Jepang dengan bengis memasuki kota, tak seorang Belanda pun berada lagi di Tanjungpinang. Semasa Sinngapura jatuh ke tangan Jepang, Belanda sudah terlebih dahulu angkat kaki dari Tanjungpinang. Yang ada hanya sisa-sisa tentara Australia yang mundur dari Singapura. Mereka inilah yang diburu dan ditangkap oleh pihak Jepang. Sisa-sisa tentara Australia ditawan dan dikumpulkan di lapangan tenis Densri dan dijaga siang dan malam. Beberapa hari kemudian para tawanan itu dibantai oleh Jepang secara bengis. Di Kampung Jawa digalilah lubang-lubang besar, di sana tentara Australia di-bedel dan dikubur dalam lubang-lubang secara beramai-ramai. Pembantaian juga dilakukan Jepang terhadap tentara Australia di bibir pantai Tanjungpinang. Walaupun memang, sebelum Jepang masuk keadaan Tanjungpinang sendiri sudah tak aman. Sejak ditinggalkan Belanda, telah memberikan kesempatan kepada perompak-lanun dan orang-orang jahat untuk menjarah rumah-rumah penduduk, toko-toko dan kantor-kantor yang ada. Perampuk-lanun itu datang dari Kawal, Gesek dan lain-lainnya. Penduduk Tanjungpinang terutamanya orang-orang Melayu terpaksalah menyingkir demikian juga penduduk dari kalangan orang India.
Kedatangan pihak Jepang menghentikan keganasan perampok-lanun itu, tetapi keganasan dan kebengisan Jepang tak kalah dengan perampok-lanun itu, harta benda rakyat dirampas dan mereka dipaksa untuk bekerja serta, banyaklah pula bangunan-bangunan Belanda yang dirusak.
Tiada lama kemudian Jepang mulai mengatur pemerintahannya. Tanjungpinang dan Kepulauan Riau dimasukkan dibawah kekuasaan militer Jepang di Singapura (Syonan-to) yang disebut Syonan-to Kabitai (Datuk Bandar Singapura). Kepulauan Riau dikepalai seorang Residen yang berkedudukan di Tanjungpinang. Residennya yang pertama G. Yagi dan Tanjungpinang disebut Bintan-to.
Jepang mengambil balik bekas-bekas petugas Belanda, terutamanya dari orang-orang Melayu, India dan lainnya seperti anggota polisi. Tetapi jabatan yang penting tetap kepada orang-orang Jepang. Kemudiannya Jepang melarang semua kerja-kerja yang mengarah dan berbau politik dan hanya kegiatan kemasyarakatan yang boleh membantu Jepang. Salah satu diantaranya adalah pendirian rumah anak yatim (panti asuhan), yang waktu itu dipimpin oleh Encik Raja Khatijah.
Untuk membantu menjaga keamanan masyarakat, Jepang membentuk Pasukan Penjaga Pulau-pulau (Gyu-tai). Sejumlah pemuda kemudiannya dikirim ke Singapura untuk mengikuti latihan jadu Gyu-tai. Sekembalinya dari Singapura, mereka meltih lagi pemuda-pemuda yang berada di pulau-pulau. Mereka ini diberi pangkat, umumnya perwira dan bintara dan diberi senjata lengkap. Sampai akhir masa kekuasaan Jepang jumlah Gyu-tai ini mencapai 600 orang. Mereka tergabung dalam satu batalyon (Gyu-tai Co) dan komandannya adalah R.H. Mohd. Yunus. Pada awal kemerdekaan, pasukan bekas Gyo-tai inilah yang besar peranannya dalam menentang Belanda. Karena hampir seluruhnya orang Melayu.
Dalam masa 3 tahun lebih itu, Jepang hampir-hampir tiada banyak melakukan kerja-kerja membangun. Semua bangunan yang dipakai Jepang rata-rata bekas gedung-gedung yang diperbuat oleh Belanda sebelumnya. Terkecuali, Jepang lebih banyak membuat jalan-jalan untuk memudahkan kepada pasukannya dalam menghadapi peperangan.