2. Suku Bangsa Melayu

Attayaya Butang Emas on 2008-07-30

Diketik di Jogjakarta, 24 Juli 2008

Adapun perkataan Melayu itu sendiri mempunyai kepada tiga pengertian, yaitu :
  1. Melayu dalam pengertian “ras” di antara berbagai ras lainnya.
  2. Melayu dalam pengertian sukubangsa yang dikarenakan peristiwa dan perkembangna sejarah, juga dengan adanya perubahan politik menyebabkan terbagi-bagi kepada bentuk negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina.
  3. Melayu dalam pengertian suku, yaitu bahagian dari suku bangsa Melayu itu sendiri.

Di Indonesia yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah yang mempunyai adat istiadat Melayu, yang bermukim terutamanya di sepanjang pantai timur Sumatera, di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Pemusatan suku bangsa Melayu adalah di wilayah Kepulauan Riau. Tetapi jika kita menilik kepada yang lebih besar untuk kawasan Asia Tenggara, maka ianya terpusat di Semenanjung Malaya.*)

Kemudiannya menurut orang Melayu, yang dimaksud orang Melayu bukanlah dilihat daripada tempat asalnya seseorang ataupun dari keturun darahnya saja. Seseorang itu dapat juga disebut Melayu apa bila ia beragama Islam, berbahasa Melayu dan mempunyai adat-istiadat Melayu. Orang luar ataupun bangsa lain yang datang lama dan bermukim di daerah ini dipandang sebagai orang Melayu apabila ia beragama Islam, mempergunakan bahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu.

Berdasarkan hal yang demikian, orang Melayu dapat menetapkan yang disebut :
  • Orang yang bukan Melayu, karena tidak beragama Islam, tidak berbahasa Melayu dan tidak mempunyai adat-istiadat lain dari orang Melayu.- Orang yang baru masuk Melayu, yaitu orang baru saja memeluk agama Islam, sudah mulai dapat berbahasa Melayu sedikit-sedikit tapi masih belum bertata-cara berdasarkan adat-istiadat Melayu.
  • Orang Melayu tidak totok (tidak murni). Yang tergolong kelompok ini ialah orang Laut atau Sampan. Orang Laut yang sudah lama bermasyarakat dan “naik ke darat” dan telah memeluk agama Islam serta memakai adat-istiadat Melayu, namun mereka tidak dipandang sebagai Melayu totok karena mereka mempunyai bahasa sendiri dan tidak berbahasa Melayu sebagai bahasa percakapan sehari-hari.
  • Orang Laut terbagi beberapa suku yang lebih kecil yaitu orang Galang, orang Barok, orang Tambus, orang Kuala, orang Hutan, orang Mantang dan orang Posek.
  • Orang Galang, orang Barok, orang Kuala, orang Hutan dan orang Posek, termasuk orang Laut yang sudah menetap di darat. Orang Galang tinggal di Pulau Karas dan Pulau Galang. Orang Barok tinggal di Pulau Penuba, orang Kuala tinggal di Pulau Kundur dan di Pulau Rempang.
  • Orang Mantang dan orang Tambus, ialah orang Laut yang masih berkelana di laut. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 7 sampai 8 buah sampan. Sampan atau perahu ini merupakan milik mereka yang paling berharga yang berukuran antara 2 x 3 M. Di dalam sampan itulah mereka hidup berkeluarga dan membesarkan anak-anak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain tergantung kepada keadan musim.
  • Orang Melayu Totok, ialah orang Melayu yang lahir dan berasal dari orang Melayu itu sendiri. Mereka beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu. Orang Melayu Totok konon, dahuluny merasa kedudukannya lebih tinggi dari orang Melayu yang tidak cocok. Sebahagian besar orang Melayu Totok ini tinggal di bekas-bekas ibukota kerajaan Melayu Riau-Lingga seperti di Daik dan Pulau Penyengat. Dulu kedua tempat ini sebagai pusat Kerajaan Melayu yang megah. Sampai ke hari ini, walaupun kebesaran kerajaan telah lama pupus, namun di kedua tempat tersebut sampai ke hari ini masih menggunakan bahasa Melayu dengan baik. Suatu bahasa yang kemudiannya dijadikan dasar untuk bahasa Indonesia.

Masyarakat Melayu mengenal pul dua istilah lainnya yaitu : pengertian masuk Melayu dan keluar Melayu. Orang yang masuk Melayu ialah orang luar atau orang asing yang baru saja menjadi orang Melayu yang sudah memeluk agama Isalam, berbahasa dan memakai adat istiadat Melayu. Sebaliknya yang dimaksud dengan keluar Melayu ialah Melayu yang meninggalkan kehidupan sebagai orang Melayu, baik bahasa, adat istiadat dan agama. **)

Jika menilik kepada pembagian yang sedemikian itu bukanlah akan mengarah kepada “retak menanti belah” malah sebaliknya yaitu dengan keberagaman tersebut termasuk kepada pengertian itu sendiri, adalah sebagai “bunga rampai” di dalam baki, yang semakin menambah harum dan serinya ruang kehidupan.

Dengan memperkatakan prihal itu bukanlah hendak menunjuk, mana yang lebih, mana yang kurang. Kesemuanya mempunyai keterkaitan yang erat, apatah lagi jika ditilik dari perjalanan sejarah, bahwa antara yang satu dengan yang lainnya tersangatlah erat perhubungannya. Ibarat teli yang berpilin. Al-hasil, jikapun terdapat perbedan antara satu dengan lainnya justru ianya sebagai “bunga rampai” yang menambah kepada kekayaan khasanah budaya itu sendiri. Prihal yang sedemikian itu juga kita jumpai di derah kita sendiri, yakni Kepulauan Riau. Keberbagaian yang ada tidak hanya kepada seni budaya bahkan bahasa antara satu daerah dengan daerah yang lain memiliki dialeg dan kosakata yang agak berbeda. Tetapi itulah, sebagai mana yang dikatakan sebelumnya, keberbagaian itu malahan memperkaya khasanah budaya yang ada.

Memanglah sangat diakui, jika hanya mengambil kepada yang satu, tentulah yang satu lainnya akan merasa kurang mendapat tempat, dan mungkin daripadanya dapatlah mendatangkan rasa yang kurang selesa. Oleh karenanya dalam keadaan yang sedemikian itu, maka diperbuatlah kerja kepada yang tengah, dengan beriktibar kepada yang di atas dan juga di bawah, demikian juga kepada yang di kanan dan di kiri ibarat sebagai kata pengokoh adalah tiang di dalam rumah.

Jika hendak melihat kepada kebesaran sesuatu bangsa, bolehlah dilihat kepada budayanya dapatlah diperkatakan memiliki unsur-unsur semacam bentuk keadaan masyarakat, mata pencaharian, teknologi, pengetahuan, agama, bahasa dan kesenian. Hal yang sedemikian itu sememangnyalah menjadi sesuatu kekuatan yang menyatukan di antara satu kepada yang lainnya. Sehinggakan ianya mengekal kokoh, besar dan menjulang tinggi.

Kebudayaan nasional Indonesia pada dasarnya adalah merpuakan puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia. Termasuklah diantaranya kebudayaan yang ada di daerah Melayu. Oleh hal yang sedemikian menjadi kewajiban kepada pemerintah dan keseluruhan unsur pendukung untuk mengekal-kuatkan sekaliannya memajukan dan mengembangkan berbagai khasanah yang berkaitan dengan kemajuan kebudayaan Indonesia yang dapat memperkaya kepada kebudayaan itu sendiri.

Keterangan :
*) Sindu Galba, Pendataan Naskah Kuno, Tanjungpinang BKS 1994/1995.
**) Dalam kenyataannya kejadian keluar Melayu adalah sangat jarang terjadi.
More about2. Suku Bangsa Melayu

1.8. Masa Kemerdekaan

Attayaya Butang Emas on 2008-07-29

Diketik di Jogjakarta, 23 Juli 2008

Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, keadaan di Kepulauan Riau dan Tanjungpinang khasnya tiada menentu lagi, karena rakyat tiada tahu lagi siapa yang akan memimpin Kepulauan Riau. Bersamaan dengan itu pula diikuti dengan pembubaran perkumpulan-perkumpulan yang pernah dibuat oleh Jepang. Sedangkan tentara Jepang banyak yang mengundurkan dirinya ke Singapura. Maka keadaan Tanjungpinang dan persekitarannya kembali kacau, apalagi dengan kehadiran perompak-lanun yang membuat rakyat ketakutan. Konon, pada saat itu yang paling berkuasa adalah Kapitan Cina dan Letnan India.

Kekacauan baru agak mereda dengan kedatangan pasukan Sekutu yang kebanyakannya adalah tentara Australia, yang segera mengambil kekuasaan di Tanjungpinang. Bersama dengan itu ikut pula tentara Belanda dan pegawai sipil NICA. Sedangkan pasukan Sekutu begitu cepat menguasai Kepulauan Riau yang kemudian membentuk pemerintahan sipil dalam lingkungan Seekutu, yaitu AMACAB (Civil Administration of Allied Forces).

Dengan kepandaian Belanda, dan dengan adanya Residentie van Riouw, akhirnya menguasai Kepulauan Riau dengan residennya Dr. J. van Waardenburg meskipun ianya masih berkedudukan di Singapura. Cengkeraman kuku kekuasaan Belanda melalui tangan Sekutu di Tanjungpinang menyebabkan para tokoh dan pejuang di Tanjungpinang dan di daerah lainnya di Kepulauan Riau melakukan perlawanan bawah tanah.

Dalam masa tiga bulan setelah proklamasi dan penyerahan Jepang, tercatat ada dua perkumpulan (organisasi) bawah tanah yang muncul di Tanjungpinang, yang satu bernama JKPRR atau Jawatan Kuasa Pengurus Rakyat Riau sedangkan satunya lagi adalah BKIR atau Badan Kebangsaan Indonesia Riau. JKPRR dengan ketuanya Raja H. Abdullah Osman dengan Wakil Ketua Tengku Ahmad Atan, Sekretaris Jenderal Djaafar Huda, mempertimbangkan akan keadaan daerah maka memperbuat pusat kerjanya di Singapura. Tujuannya adalah supaya Kepulauan Riau dapat memperoleh pemerintah sendiri dalam bentuk sebuah kerajaan, seperti Kerajaan Riau yang dihapuskan oleh Belanda tahun 1913.

Dalam memperjuangkan kehendak rakyat itu, para pengurus JKPRR berusaha bertemu dengan pihak Sekutu dan Belanda, baik dengan Residen van Waardenburg maupun dengan Letnan Gubernur Jendral Dr. JJ. Van Mook. Mereka juga bertemu dengan Perdana Menteru Indonesia Sultan Syahrir dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim.

Sedangkan BKIR yang didirkan 10 Oktober 1945 diketuai oleh Dr. Ilyas Datuk Batuah, Wakil Ketua Raden Subarma, Sekretaris Tuanku Muda Chaidir dan anggota-anggotanya antara lain Urip St. Indera, M. Samin, Tangiran, Abd. Hamid, Abd. Wahid Encok, Osman, Raja Sagil, Raja Mohd. Yunus, ZAMAHSYARI (ayahandaku, atoknda), Sunaryo, Jakob Hasibuan, Ismet Mokhtar, Said Salim dan Syahbudin Nasir. BKIR yang berkedudukan di Tanjungpinang bertujuan antara lain untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia bahwa Kepulauan Riau adalah bagian dari Republik Indonesia. BKIR akan menjadi pemegang komando kepada tentara republik dan rakyat lainnya yang masuk ke Kepulauan Riau, juga akan menyiapkan kepada tempat Komite Nasional Indonesia untuk Kepulauan Riau, juga menjadi koordinator Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Penerangan di Kepulauan Riau, serta BKIR akan membuka perwakilannya di Singapura.

Perjuangan JKPRR untuk mendpatkan hak pemerintahan sendiri dalam bentuk sebuah kerajaan, tidak berhasil. Belanda hanya memberikan hak otonomi terbatas dimana kekuasaan tertinggi tetap pada Belanda. Kepulauan Riau diminta untuk membentuk sebuah dewan sementara yang akan menyiapkan pemilihan umum bertingkat, bagi membentuk satu dewan perwakilan. Akhirnya setelah mendapat nasehat dari Perdana Menetri RI Sutan Syahrir dan Menlu H. Agus Salim, tawaran Belanda itu diterima. Akhir tahun 1946 di Tanjungpinang dibentuk Dewan Riau Sementara yang tugas utamanya menyusun undang-undang dan peraturan bagi dilakukan pemilihan umum. Pertengahan tahun 1947 tugas tersebut selesai. Maka pada tanggal 4 Agustus 1947 anggota Dewan Riau hasil pemilihan umum itu dilantik. Dipilih sebagai Ketua adalah Mohammad Apan dan Wakil Ketua Mukhtar Husin.

Tanggal 27 Desember 1949 berdasarkan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Penyerahan kedaulatan itu terjadi di mana-mana, selain acara puncak di Negeri Belanda dan pusat Republik Indonesia di Yogyakarta. Di Tanjungpinang, penyerahan kedaulatan itu terjadi antara Komandan Tritorial Belanda untuk Riau Kolonel Trebels kepada Mayor M. Akil Prawiradireja. Walaupun sudah dilakukan penyerahan kedaulatan, di Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan Kepulauan Riau, belum serta merta beralih kekuasaan kepada Pemerintah RI, karena Kepulauan Riau termasuk dalam daerah BFO (Bijzonder Federal Overleg) yang dalam RIS (Republik Indonesia Serikat) disebut Daerah Bagian Kepulauan Riau. Sampai saat itu peranan pemerintahan masih dipegang oleh Dewan Riau, dengan Mukhtar Husin sebagai ketuanya. Mukhtar Husin dalam kedudukan sebagai Ketua Dewan Riau kemudian diangkat sebagai Residen Riau menggantikan Residen Belanda yang segera meninggalkan Tanjungpinang.

Dewan Riau berjalan sampai 18 Maret 1950 dan kemudian dibubarkan setelah mendapat desakan dari para pemuda pejuang yang tergabung dalam Panitia 17 yang dipimpin oleh Zamahsyari dan Said Hamzah. Sejak tanggal tersebut, Kepulauan Riau menyatakan diri bergabung dalam Republik Indonesia, dan keputusan itu kemudian dikukuhkan dengan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, tanggal 8 Mei 1950.

Dengan demikian cukuplah selintas perjalanan orang Melayu khasnya kemudian yang berada di Kepulauan Riau, sejak zaman kerajaan sehinggalah menggabungkan diri kepada Negara Kesatuan Republiki Indonesia. Sampai sejauh itu dapatlah ditela’ah bagaimana rupanya keadaan orang Melayu dalam perjalanan sejarahnya. Jika diibaratkan se-cebis kain, maka telah tercabik-cabik dek perlakuan perjalanan masa itu sendiri, baik ketika masa kerajaan sampai pada masa penjajahan yang menggerunkan. Tetapi kemudiannya, justru yang menambal sulam akan cabikan kain itu adalah daripada seni dan budaya Melayu itu sendiri yang bersandar kepada aqidah agama Islam. Ianya justru menjadi sekalung rampai bunga-bunga yang indah serta mengharum dalam kehidupan masyarakat Melayu Kepulauan Riau, hari ini!

Gedung Daerah di Tanjungpinang
More about1.8. Masa Kemerdekaan

1.7. Masa Penjajahan Jepang

Attayaya Butang Emas on 2008-07-28

Diketik di Jogjakarta, 23 Juli 2008

Perang Dunia II yang mencapai puncaknya tahun 1942 di Asia, memberikan bahangnya yang cepat kepada Riau (Kepulauan Riau) dan Tanjungpinang khususnya, karena dekatnya dengan semenanjung Malaya (sekarang Malaysia) dan Singapura. Pada bulan Desember 1941, Jepang sudah mulai menjamah semenanjung Malaya. Tanggal 15 Pebruari 1942 Singapura jatuh ke tangan Jepang. Dan Riau (Kepulauan Riau), khasnya Tanjungpinang, seminggu kemudian yaotu tanggal 21 Pebruari 1942 Jepang muncul. Adapun Jepang masuk dari dua arah yaitu yang langsung ke pelabuhan Tanjungpinang dan dari arah Kijang.

Dekatnya jarak antara Tanjungpinang dengan Singapura memudahkan kepada pihak Belanda untuk mengetahui lebih cepat akan kedatangan Jepang kemudian dengan cepat pula bersiap-siap untuk meninggalkan Tanjungpinang. Sehingga, begitu serdadu-serdadu Jepang dengan bengis memasuki kota, tak seorang Belanda pun berada lagi di Tanjungpinang. Semasa Sinngapura jatuh ke tangan Jepang, Belanda sudah terlebih dahulu angkat kaki dari Tanjungpinang. Yang ada hanya sisa-sisa tentara Australia yang mundur dari Singapura. Mereka inilah yang diburu dan ditangkap oleh pihak Jepang. Sisa-sisa tentara Australia ditawan dan dikumpulkan di lapangan tenis Densri dan dijaga siang dan malam. Beberapa hari kemudian para tawanan itu dibantai oleh Jepang secara bengis. Di Kampung Jawa digalilah lubang-lubang besar, di sana tentara Australia di-bedel dan dikubur dalam lubang-lubang secara beramai-ramai. Pembantaian juga dilakukan Jepang terhadap tentara Australia di bibir pantai Tanjungpinang. Walaupun memang, sebelum Jepang masuk keadaan Tanjungpinang sendiri sudah tak aman. Sejak ditinggalkan Belanda, telah memberikan kesempatan kepada perompak-lanun dan orang-orang jahat untuk menjarah rumah-rumah penduduk, toko-toko dan kantor-kantor yang ada. Perampuk-lanun itu datang dari Kawal, Gesek dan lain-lainnya. Penduduk Tanjungpinang terutamanya orang-orang Melayu terpaksalah menyingkir demikian juga penduduk dari kalangan orang India.

Kedatangan pihak Jepang menghentikan keganasan perampok-lanun itu, tetapi keganasan dan kebengisan Jepang tak kalah dengan perampok-lanun itu, harta benda rakyat dirampas dan mereka dipaksa untuk bekerja serta, banyaklah pula bangunan-bangunan Belanda yang dirusak.

Tiada lama kemudian Jepang mulai mengatur pemerintahannya. Tanjungpinang dan Kepulauan Riau dimasukkan dibawah kekuasaan militer Jepang di Singapura (Syonan-to) yang disebut Syonan-to Kabitai (Datuk Bandar Singapura). Kepulauan Riau dikepalai seorang Residen yang berkedudukan di Tanjungpinang. Residennya yang pertama G. Yagi dan Tanjungpinang disebut Bintan-to.

Jepang mengambil balik bekas-bekas petugas Belanda, terutamanya dari orang-orang Melayu, India dan lainnya seperti anggota polisi. Tetapi jabatan yang penting tetap kepada orang-orang Jepang. Kemudiannya Jepang melarang semua kerja-kerja yang mengarah dan berbau politik dan hanya kegiatan kemasyarakatan yang boleh membantu Jepang. Salah satu diantaranya adalah pendirian rumah anak yatim (panti asuhan), yang waktu itu dipimpin oleh Encik Raja Khatijah.

Untuk membantu menjaga keamanan masyarakat, Jepang membentuk Pasukan Penjaga Pulau-pulau (Gyu-tai). Sejumlah pemuda kemudiannya dikirim ke Singapura untuk mengikuti latihan jadu Gyu-tai. Sekembalinya dari Singapura, mereka meltih lagi pemuda-pemuda yang berada di pulau-pulau. Mereka ini diberi pangkat, umumnya perwira dan bintara dan diberi senjata lengkap. Sampai akhir masa kekuasaan Jepang jumlah Gyu-tai ini mencapai 600 orang. Mereka tergabung dalam satu batalyon (Gyu-tai Co) dan komandannya adalah R.H. Mohd. Yunus. Pada awal kemerdekaan, pasukan bekas Gyo-tai inilah yang besar peranannya dalam menentang Belanda. Karena hampir seluruhnya orang Melayu.

Dalam masa 3 tahun lebih itu, Jepang hampir-hampir tiada banyak melakukan kerja-kerja membangun. Semua bangunan yang dipakai Jepang rata-rata bekas gedung-gedung yang diperbuat oleh Belanda sebelumnya. Terkecuali, Jepang lebih banyak membuat jalan-jalan untuk memudahkan kepada pasukannya dalam menghadapi peperangan.
More about1.7. Masa Penjajahan Jepang

1.6. Masa Penjajahan Belanda

Attayaya Butang Emas on 2008-07-27

Diketik di Jogjakarta, 22 Juli 2008

Selesai ditandatanganinya perjanjian Utrecht (Tractaat van Altoos), Belanda mulai menempatkan personilnya di Tanjungpinang. Jacob Pieter van Bram yang memimpin eskader Belanda mulai membangun Tanjungpinang yang semula adalah kubu Riau. Di bekas kubu itu dibangun benteng baru dengan menempatkan beberapa buah meriam kecil. Di atas puncak bukit dibangun satu benteng lainnya dengan persenjataan lebih banyak dan kemudian dikenal dengan Kroonprins.

Ketika eskader van Bram meninggalkan Tanjungpinang 27 November 1784, dia meninggalkan sejumlah petugas disini. Diantaranya Letnan Infantri Jacob Christian Votter, Insinyur Ricard, Letnan Laut Christian Marthen, berikut satu garnizun berkekuatan 254 orang yang dibagi dua. Di Tanjungpinang ditempatkan 182 personil, dan di Pulau Bayan 72 personil. Atas saran Insinyur Richard benteng di Pulau Bayan bekas kubu Riau yang terbuat dari susunan batang kelapa dan semen, diperbaiki dan diperbaharui.

Untuk menjaga keamanan umum, van Bram sebelum berangkat juga mengangkat dua orang tokoh Cina, yaitu Tan Kiong Sin dan Tan Sian Ko sebagai pemimpin orang-orang Cina di Tanjungpinang, dengan pangkat Kaptan (Kapten). Tan Kiong Sin sebagai Kapitan Satu dan Tan Sian Ko sebagai Kapitan Dua. Di Tanjungpinang waktu itu sudah banyak orang-orang Cina bermukim, yaitu mereka yang mulanya datang dari Melaka untuk menjadi buruh pemasak gambir dan [ekebun gambir. Mereka tinggal jauh dari pusat kota pemerintahan Riau di Hulu Riau dan Tanjungpinang.

17 Juni 1785, Belanda mengirim David Ruhde sebagai Residen Belanda yang pertama ke Riau. David Ruhde menempati kantornya di Pulau Bayan, di sebuah bangunan tua beratap daun. Tetapi pertengahan tahun 1786, David memindahkan kantor dan kediamannya ke Tanjungpinang, dan berdiam disekitar benteng di Bukit Tanjungpinang atau Kroonprins.

Bulan Desember 1786 Sultan Riau Mahmudsyah berangkat ke Melaka dan bertemu dengan Gubernur Belanda di Melaka. Mahmud disambut meriah di sana, dan mereka kemudian menandatangani perjanjian baru. Isinya antara lain bahwa Belanda diperbolehkan membangun tempatnya di Riau dan untuk itu Sultan harus membantunya. Sultan harus membangun dermaga di Tanjungpinang (dermaga itu diperkirakan adalah dermaga pelabuhan Sri Bintan Pura sekarang), termasuk menanggung biayanya. Dermaga itu kelak akan dijaga oleh orang-orang Kompeni Belanda dan tertutup waktu malam hari. Barang-barang yang keluar masuk dermaga itu, kecuali barang-barang khusus, dipungut cukai. Mahmudsyah kembali ke Riau bulan Maret 1787.

Tetapi Residen David Ruhde ternyata seorang yang kasar dan kurang menghormati para Penguasa Riau. Ia bertindak semaunya. Mengambil kayu-kayu dan hasil hutan tanpa memberitahu lebih dahulu kepada pihak kerajaan Riau. Tindakan kasar dan sombong itu menimbulkan kemarahan kepada para pembesar Riau dan timbul niat mereka untuk mengusir David Ruhde dari Riau.

10 Mei 1787, datang serangan mendadak dari sekumpulan bajak laut yang berasal dari Tempasok, Kalimantan Barat. Benteng Belanda yang dijaga satu garnizun berkekuatan hampir 200 orang digempur dan hancur. Residen David Ruhde dan serdadunya dipaksa menyerah dan diancam dalam tempo 3 hari harus segera kembali ke Melaka. Akhirnya dengan hanya pakaian sehelai sepinggang David Ruhde lari ke Melaka dan melaporkan kejadian itu kepada Gubernur Melaka.

Lanun-lanun Tempasok yang jumlahnya lebih dari 40 perahu itu selesai merusak benteng Tanjungpinang dan Pulau Bayan, segera meninggalkan Tanjungpinang. Orang-orang Belanda menuduh Sultan Mahmud dan Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau yang menyingkir ke Sukadana (Kalimantan Barat) yang menjadi dalang serangan para lanun tersebut.

Melihat situasi yang kurang menguntungkan itu dan khawatir serangan balasan ari Kompeni Belanda, Sultan Mahmud akhirnya memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan Riau dari Hulu Riau ke Pulau Lingga, jauh di selatan Pulau Bintan. Perpindahan besar-besaran ini dilakukan pada pertengahan tahun 1787. Sultan Mahmud berangkat dalam satu rombongan tak kurang dari 200 perahu ke Lingga. Sedangkan 150 perahu lainnya dipimpin Temenggung Abdul Jamal pindah ke Pulau Bulang (sekitar Batam) dan menetap di sana. Hulu Sungai Riau menjadi kosong, hanya tinggal orang-orang Cina pemasak dan pekebun gambir yang tak ikut pindah dan menguasai ladang gambir orang Bugis dan Melayu yang ditinggalkan.

Belanda sangat marah atas tindakan penyerangan para lanun Tempasok itu pada bulan Agustus 1787, Belanda kembali mengirim satu eskade dipimpin Jacob Pieter van Bram dengan tugas menghukum Sultan Mahmud dan membangun kembali benteng Tanjungpinang yang hancur. Ketika eskader Jacob van Bram tiba di Tanjungpinang, Sultan Mahmud dan penduduk Riau sudah pindah. Meskipun van Bram tahu kemana Sultan Riau itu berpindah, namun tidak memburunya. Sebaliknya segera membangun kembali benteng dan kediaman residen yang porak poranda itu. Untuk memperkuat pertahanan, kekuatan garnizun di Tanjungpinang ditambah. Pasukan infanterinya berjumlah 259 orang, artileri (pasukan meriam) 335 orang. Pada akhir tahun 1788 kekuatan Belanda di Tanjungpinang berjumlah lebih kurang 800 orang, terdiri dari berbagai etnis, baik orang Belanda maupun orang Eropa lainnya yang menjadi serdadu sewaan. Benteng Kroonprins dilengkapi dengan 22 meriam, sedangkan benteng di bawahnya 16 meriam. Untuk keperluan menjaga personilnya yang besar itu Belanda juga menempatkan dua orang dokter bedah di Tanjungpinang. Sampai tahun 1790 Belanda terus memperkuat bentengnya di Tanjungpinang dan mulai membangun Tanjungpinang sebagai pangkalan dagang dan militernya. Karena setelah amok lanun-lanun Tempasok itu boleh dikatakan tak ada lagi orang Melayu dan Bugis yang tinggal di Tanjungpinang maka penduduk Tanjungpinang waktu itu kebanyakan orang-orang Cina. Selain tetap mempertahankan sistem pemimpin kaum cina dengan pangkat Kapitan, Belanda juga mengatur soal-soal keagamaan orang Cina, termasuk membangun kelenteng, dan lainnya. Kelenteng tertua Cina di Tanjungpinang yang diperkirakan adalah kelenteng di ujung Jalan Merdeka sekarang, dibangun pada masa itu. Tetapi tahun 1795 Belanda terpaksa angkat kaki dari Tanjungpinang. Ini berkaitan dengan perkembangan politik di daratan Eropa, yaitu meletusnya Revolusi Perancis, Pangeran Oranye dari Negeri Belanda tersingkir dari takhtanya dan mencari perlindungan pada Inggeris. Supaya semua jajahan Belanda tidak jatuh ke tangan Perancis, maka William Oranye menyerahkan daerah jajahan Belanda ke bawah jagaan Inggeris. Pengambil-alihan itu berjalan damai, terkecuali di Indonesia yang memihak Republik Bataafe. Riau dan Tanjungpinang sendiri, karena dibawah kekuasaan Gubernur Belanda di Melaka, maka termasuk yang diambil alih oleh Inggeris tanpa perang. Inggeris sendiri tidak secara langsung menguasai Riau tetapi melalui Gubernurnya di Melaka menyerahkan kembali ke Riau kepada Sultan Mahmud. Pengembalian kedaulatan itu sendiri terjadi 18 September 1795, dari pejabat Inggeris Henry Newcome dan A. Brown. Namun hanya berselisih waktu beberapa jam, pada sore harinya Sultan Mahmud juga menerima surat keputusan pengembalian kedaulatan dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia yang dibawa oleh Sayid Abdurrahman. Dengan demikian, Riau kembali menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.

Sejak pengembalian kedaulatan itu, Tanjungpinang kembali ramai didiami oleh orang-orang Melayu dan keturunan Bugis. Engku Muda Muhammad, anak Temenggung Abdul Jamal, yang ditunjuk oleh Sultan Mahmud sebagai Yang Dipertuan Muda Riau untuk menggantikan Raja Ali sementara waktu, memindahkan tempat kedudukannya dari Pulau Bulang ke Tanjungpinang. Tidak diperoleh catatan apakah sejak penyerahan kedaulatan itu, masih ada personil kompeni Belanda yang jumlahnya sekitar 800 orang itu di Tanjungpinang dan berdiam di komplek perkampungan mereka di sekitar Benteng Kroonprins dan Gubernemen. Namun orang-orang Melayu dan keturunan Bugis pengikut Engku Muda Muhammad mulai membangun perkampungan mereka di sekitar Kampung Tambak sekarang.

Kehidupan perekonomian dikatakan tetap berlangsung seperti masa-masa sebelumnya. Tanjungpinang mulai menjadi tempat persinggahan, terutama bagi para pedagang yang datang dari timur Sumatera, seperti Siak, Indragiri dan lainnya yang dalam perdagangan ke Melaka. Tanjunpinang dan sekitarnya menjadi penghasil gambir, sementara pedagang dari Siak membawa emas dan timah.

Tahun 1801 terjadi sengketa antara orang-orang suku Melayu, pengikut Engku Muda Muhammad dengan pengikut Raja Alim keturunan Bugis. Raja Ali yang menyingkir ke Sukadana dan kemudian ke Siantan, setelah perang Riau kini kembali lagi ke Riau karena Belanda sudah angkat kaki. Raja Ali kembali menuntut haknya atas jabatan Yang Dipertuan Muda, yang dipegang oleh Engku Muda. Karena Engku Muda tiada hendak mengalah, terjadilah perang saudara yang banyak menimbulkan korban. Karena kurang berpengalaman dalam perang dan kurang persenjataan, akhirnya Engku Muda dan pengikutnya kalah, serta menyingkir dari Tanjungpinang ke Pulau Bulang.

Atas kebijaksanaan Sultan Mahmud, akhirnya kedua belah pihak bersedia berdamai yang dikenal dengan perdamaian Bulang. Jabatan Yang Dipertuan Muda dikembalikan kepada Raja Ali. Engku Muda diangkat menjadi Temenggung Johor menggantikan ayahnya.

Namun Engku Muda menolak, dan digantikan oleh adiknya Temenggung (Tun) Ibrahim atau bergelar Daing Kecik. Engku Muda bersama kerabatnya kemudian pindah ke Singapura.

Raja Ali yang sudah menerima kembali jabatannya Yang Dipertuan Muda Riau V membuat kedudukannya di Pulau Bayan, tempat yang dulu menjadi kubu Raja Haji dan kemudian dikuasai oleh Belanda. Sedangkan Sultan Mahmud yang kemudian mengawini Raja Hamidah, anak Raja Haji segera membangun Pulau Penyengat sebagai tempat kediaman permaisurinya itu yang kemudian bergelar Engku Putri. Pulau Penyengat yang semulanya adalah kubu Riau ketika menentang Belanda dalam perang Riau. Pulau Penyengat segera menjadi perkampungan yang ramai. Apalagi setelah terjadi perang saudara, banyak penduduk Riau yang keturunan Melayu arau Bugis di Tanjungpinang pindah ke Pulau Penyengat. Tanjungpinang kembali hanya dihuni orang-orang Cina.

Tahun 1808, ketika Raja Dja’afar menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VI menggantikan Raja Ali yang meninggal tahun 1806, dia memindahkan pusat kekuasaan Yang Dipertuan Muda ke Penyengat. Sehingga Penyengat semakin ramai. Raja Dja’afar dikatakan seorang yang kaya berkat hsil usaha perdagangan timahnya ketika ia berada di Selangor. Dengan uangnya ia membangun gedung-gedung baru, membangun jalan dan parit serta pertahanan. Sehingga Tanjungpinang yang berada berseberangan dengan Penyengat tidak begitu diperhatikan dan tumbuh sendiri sebagai pusat perdagangan gambir, dan dikuasai sepenuhnya oleh orang-orang Cina. Raja Dja’afar ternyata seorang pemimpin yang bijak dan berjiwa seni, sehingga Penyengat tumbuh menjadi satu kota baru yang tak kalah bagusnya dengan Tanjungpinang pada waktu itu.

Tetapi tahun 1815 terjadi perubahan arus politik di dunia. Revolusi Perancis berakhir dan Inggeris harus mengembalikan lagi semua jajahan Belanda yang dikuasainya kepada Belanda. Dengan demikian Belanda kembali muncul dibekas jajahannya. Belanda muncul di Riau tahun 1818. Terjadi perjanjian baru antara Belanda dengan Sultan Abdurrahman, yang menggantikan Sultan Mahmud yang wafat tahun 1812 dan Yang Dipertuan Muda Raja Dja’afar. Melalui perjanjian itu Belanda memperoleh kembali hak-hak sebelumnya, termasuk menguasai kembali Tanjungpinang sebagai pusat perdagangan dan pangkalan angkatan perang di Selat Melaka.

Tanjungpinang sebagai tempat pemukiman penduduk semakin ramai, sebagiannya adalah pemukiman masyarakat Cina yang menjadi puat perdagangan. Pada bulan Februari 1904 terjadi kebakaran besar di Tanjungpinang, ini adalah kebakaran terbesar pertama yang terjadi di Tanjungpinang.

Setelah pindah ke Pulau Penyengat pada tahun 1900, sekitar 11 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 11 Februari 1911, Sultan Riau Abdurrahan Muazzamsyah dimakzulkan karena tiada patuh kepada Belanda. Pemakzulan itu dilakukan Residen Belanda OF de Bruinskop atas nama Gubernur jenderal Belanda, di Pulau Penyengat ibukota kerajan Riau-Lingga waktu itu, dengan cara membacakan maklumat pemberitahuan.

Sejak itu, Riau seluruhnya dikendalikan oleh Belanda dengan Residen Riau yang berkedudukan di Tanjungpinang sebagi penguasa utama. Pusat keresidenan di Tanjungpinang itu mencakup wilayah yang sangat luas. Selain pulau-pulau di Kepulauan Riau, juga termasuk Inderagiri Hilir, yaitu Kateman dan Inderagiri. Keresidenan Riau itu dibagi dalam dua afdeling, yaitu afdeling Tanjungpinang yang membawahi daerah Kepulauan Riau dan Kateman. Sedangkan afdeling lainnya adalah afdeling Inderagiri dengan ibukotanya di Rengat, yang dikepalai seorang Asisten Residen. Afdeling Tanjungpinang yang dipegang langsung oleh Residen, dibagi lagi dalam empat Onder Afedeling yang dipimpin seorang Controleur, yaitu Afdeling Tanjungpinang, Onder Afdeling Lingga, Onder Afdeling Karimun dan Onder Afdeling Pulau Tujuh.

More about1.6. Masa Penjajahan Belanda

1.5. Masa Riau – Lingga

Attayaya Butang Emas on 2008-07-26

Apabila sampai ke Riau membuatlah Raja Kecil akan istana yang berbunga lawangan emas. Mala memerintah Riau dengan segala rakyatnya yang di laut. Semakin huru-haralah Kerajaan Johor pada ketika itu tiada berketentuan.

Sementara itu Abdul Jalil yang keluar dari Johor, terus ke Terangganu, kemudian ke Pahang dan menyusun kekuatan memperbuat negeri di situ. Syahdan Raja Kecil yang mendengar cerita itu, ia mengutus beberapa kelengkapan perangnya yang dikepalai oleh Nakhoda Sekam untuk menjemput Abdul Jalil ke Riau, tetapi jika tiada mahu, sebaiknya diserang saja. Ternyata Abdul Jalil menolak untuk dibawa ke Riau. Tak pelak lagi terjadilah peperangan hinggalah suatu ketika Abdul Jalil mangkat. Kemudian jenazah Sultan Abdul Jalil dimakamkan di Kuala Pahang. Seterusnya Nakhoda Sekam kembali berlayar ke Riau dengan membawa anak raja-raja itu.


Syahdan adapun Raja Sulaiman itu tiada senang hatinya, hingga suatu ketika ia mengirim surat kepada Upu Daeng Perani bersama dengan saudara-saudaranya untuk segera melanggar Riau. Keinginan Raja Sulaiman terkabul, maka melanggarlah Upu Daeng Perani bersama angkatannya ke Riau. Dalam peperangan itu akhirnya Raja Kecil kalah dan melarikan diri ke Lingga. Sementara Raja Kecil terus mengalami kekalahan demi kekalahan dalam setiap peperangan, dan juga berkat nasihat isterinya Tengku Kamariah, maka kemudian Raja Kecil menghentikan peperangan, dan memperbuat kerajaan di Siak (1725-1748).

Maka sejak saat itu, keputusan dalam kerajaan tidak lagi mutlak kepada perkataan seorang Sultan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan antara pihak Sultan Sulaiman dengan Upu-upu dari Bugis. Yaitu Sultan disebut sebagai Yang Dipertuan Besar sedangkan dari pihak Upu-upu mendapat gelaran Yang Dipertuan Muda.

Sementara itu, pengaruh dan cengkeraman daripada kuku-kuku berbisa Holanda sudah terasa dan masuk ke dalam sendi kehidupan pemerintahan kerajaan, ketika Riau berada di puncak kegemilangannya semasa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau ke IV RAJA HAJI.

Pada tahun 1722 M, Raja Sulaiman dilantik sebagai Sultan Riau – Lingga dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan wilayah kekuasaan yaitu pulau-pulau di Riau, Bintan, Siantan, Tambelan, Singapura, Johor, Selangor, Trengganu, Pahang dan Indragiri. Mulai tahun 1722 M ini nama kerajaan berganti dengan nama Kerajaan Riau – Lingga. Dan sejak itulah, kerajaan tersebut berkembang, walaupun di dalamnya bukan tiada kepada pertentangan dengan pihak Belanda yang telah ikut campur tangan, tetapi kerap kali terjadi pertelingkahan dari dalam sendiri.

Dikarenakan perseteruan dengan Belanda dan melihat situasi yang kurang menguntungkan itu, Sultan Mahmud akhirnya memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan ke Pulau Lingga. Perpindahan itu terjadi pada pertengahan tahun 1787 M. sultan Mahmud berangkat dalam satu rombongan tak kurang dari 200 perahu ke Lingga. Sedangkan 150 perahu lainnya dipimpin Temenggung Abdul Jamal pindah ke Pulau Bulang (sekitar Batam) dan menetap di sana. Hulu Sungai Riau menjadi kosong, hanya tinggal orang-orang Cina pemasak dan pekebun gambir yang kemudiannya menguasai ladang gambir yang ada.

Tangga untuk menuju Istana Damnah di Daik Lingga


Istana Damnah


Istana Bilik 44 di Daik Lingga


Jikalau melihat dari perkembangan Kerajaan Riau – Lingga dari tahun 1722 – 1784 M lebih kepada kegiatan perdagangan (ekonomi). Diantaranya penyusunan dalam aturan perdagangan. Hubungan dagang berbagai bangsa asing dan kerajaan lain seperti India (Benggala), Cina, Siam, Jawa, Bugis dan lain sebagainya. Sehinggalah menyebabkan perdagangan berkembang kembali. Hasil utama perdagangan pada masa itu adalah gambir yang diperbuat sejak jamam pemerintahan Yang Dipertuan Muda II Daeng Celak (1729-1746 M). Bibit gambir itu berasal dari dataran Sumatera yang dijemput oleh Penggawa Tarum dan Penghulu Cedun. Ladang-ladang gambir itu banyak dimiliki oleh orang-orang Melayu dan Bugis. Sedangkan hasil perkebunan gambir itu diolah oleh orang-orang Cina. Keadaan tersebut terus berkembang sampai masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda III Daeng Kamboja.

Sebenarnya selain dari perdagangan, di masa Kerajaan Riau-Lingga kehidupan lainnya juga ikut berkembang marak, seperti halnya kehidupan agama dan seni budaya. Hal ini dapat digambarkan melalui Tuhfat al-Nafis,

“Syahdan adalah pada masa Yang Dipertuan Muda Raja Haji yang menjadi Yang Dipertuan Muda itu, maka makin bertambah-tambah ramainya Negeri Riau serta makmurnya, dan orang Riau banyaklah yang kaya-kaya, dan beberapa pula saudagar-saudagar Cina dan Bugis, dan beberapa pula kapal dan kici, dan wangkang-wangkang berpuluh-puluh buah yang berlabuh di dalam Negeri Riau, dan pulang pergi berniaga di dalam Riau. Apalagi perahu-perahu Bugis-bugis dan perahu-perahu Jawa dan tob-tob Siam beratus-ratuslah yang berlabuh, istimewa pula perahu-perahu Bentan jangan dikata lagi, bercocok ikanlah daripada kuala hingga sampai ke Kampung Cina. Shahadan Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda dan banyaklah mendapat hasil-hasil dan cukai-cukai dan antaranya Cina wangkang, dan tob Siam itu daripada pinggan mangkuk, dan piring-piring yang halus-halus dan kasar, beberapa gedong, apalagi kain perbuatan Cina seperti diwangga dan kemika, dan belakang parang dapatnya didalam setahun angin, dan segala segala tuan-tuan Sayed pun banyaklah datang dari Tanah Arab. Apalagi Lebai Jawa, hingga penuhlah tempat dirumah wakaf dan mesjid dan segenap surau, orang-orang Besar dan kaya itu. Apabila hari Jum’at berkumpullah orang ke dalam semuanya maulu-dannabi, selesai daripada maulud, memberi sedekah. Ada yang dapat jaktun, ada yang mendapat ringgit, ada yang mendapat rupiah dan lain-lain daripada malam Jum;at itu. Beberapa pula permainan yang bermain seperti joget, dan wayang.”

Tidak hanya itu saja, kehidupan agama dan budya justru berada dipuncaknya ketika Pulau Penyengat dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Walaupun kekuasaan secara politis telah berkurangan tetapi kedaulatan atas adat istiadat, agama dan budaya, tetaplah Belanda tiada boleh mencampuri. Keadaan yang sedemikian itu dimanfaatkan oleh penguasa Riau untuk dikembangkan, sehingga Riau mampu bangkit sebagai salah satu perkembangan ilmu dan budaya Melayu di rantau semenanjung Tanah Melayu dan Timur Nusantara, dan pusat pengembangan itu berada di Pulau Penyengat.

Bidang budaya yang sangat pesat pertumbuhannya adalah Bahasa Melayu. Apalagi setelah adanya Traktat London (1824) yang telah membagi daerah awal kerajaan Riau-Lingga menjadi dua bagian.

Makam Raja Ali Haji di Penyengat


Makam Raja Ali


Makam Engku Putri Raja Hamidah


Daerah yang berada di semenanjung Tanah Melayu seperti Johor, Pahang dan Trengganu masuk dalam kekuasaan Inggeris, sedang Riau dan sekitarnya menjadi daerah kekuasaan Belanda. Pembagian kekuasaan yang semena-mena tersebut memisahkan hubungan adat-istiadat, bahasa dan agama bagi bangsa serumpun itu, sehingga kemudian menimbulkan perbedaan perkembangan yang jauh.

Di Riau, dengan berpusat di Pulau Penyengat, budaya dan Bahasa Melayu dikembangkan sedemikian rupa dengan menerbitkan berbagai buku. Salah seorang tokoh yang sejak awal begitu rajin sekali sebagai pengarang adalah Raja Haji Ahmad Engku Tua, putera tertua Raja Haji Fisabilillah, beliau telah menulis beberapa syair, antara lain Syair Engku Puteri, Syair Perang Johor, Syair Raksi dan membuat kerangka tulisan untuk buku Tuhfat al-Nafis (Anugerah Yang Berharga) yang kelak diteruskan oleh anaknya RAJA ALI HAJI.

Makam Sultan Mahmud Syah (Marhum Mesjid)


Makam Yang Dipertuan Muda Raja Ja'far bin Raja Haji


Makam Sultan Abdul Rahman (Marhum Bukit Cengkeh)


Makam Raja Muhammad Yusuf


Kemudian Raja Ali Haji, adalah seorang tokoh budaya yang termasyhur dan cukup lengkap kepandaiannya. Beliau seorang pujangga, seorang ahli siasat dan politikus, seorang ulama dan seorang ahli bahasa. Dari tangannya telah menghasilkan karya-karya besar yang mendunia.

Pesatnya perkembangan bahasa, budaya dan agama diikuti dengan berbagai hasil karya berupa buku-buku tersebut, antara lain karena di Penyengat berdiri percetakan kerajaan yaitu MATBAATUL RIAWIYAH (1894). Adanya percetakan tersebut menyebabkan karya-karya para cerdik pandai Riau waktu itu dapatlah segera dicetak dan disebarluaskan. Kemudiannya lahir pula sebuah perkumpulan para cerdik pandai Riau yang diberi nama Rusdiyah Klab. Perkumpulan ini merupakan tempat berhimpun para cerdik pandai Riau yang melahirkan karya-karya tulis mereka, juga merupakan tempat membahas berbagai perkembangan pada waktu itu.

Di dalam sejarah Melayu semasa Kerajaan Riau-Lingga maka tercatatlah nama-nama Sultan (Yang Dipertuan Besar) yang pernah memerintah dan nama-nama Yang Dipertuan Muda (1722-1911).

SULTAN YANG DIPERTUAN BESAR :
1. Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1760). Wafat di hulu Riau dan dimakamkan di Kampung Melayu km-6.
2. Abdul Jalil Syah (1760-1761). Wafat di Selangor dan dimakamkan di Hulu Riau.
3. Ahmad Syah (1761-…..). Wafat di Hulu Riau.
4. Mahmud Syah (1761-1812). Wafat di Daik Lingga, dikenal dengan sebutan Marhum di Lingga.
5. Abdurrahman Syah (1812-1832). Wafat di Daik Lingga, dikenal dengan sebutan Marhum Bukit Cengkeh.
6. Muhammad Syah (1832-1842). Wafat di Daik Lingga.
7. Mahmud Muzaffar Syah (1842-1858). Wafat di Pahang, beliau dimakzulkan oleh Belanda karena dianggap menentang Belanda.
8. Sulaiman Badrul Alamsyah (1858-1883). Wafat di Daik Lingga.
9. Abdurrahman Muazzam Syah (1883-1911). Wafat di Singapura. Beliau juga dimakzulkan oleh Belanda karena melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan Belanda dan dianggap menentang Belanda.

SULTAN YANG DIPERTUAN MUDA RIAU :
1. Daeng Marewa (1722-1729). Wafat di Sungai Baharu (Hulu Riau) dimakamkan di sana.
2. Daeng Celak (1729-1746). Wafat di Pulau Petung dan dimakamkan di Hulu Riau.
3. Daeng Kamboja (1746-1777). Wafat di perjalanan dari Selangor ke Riau, dan dimakamkan di Gudang Minyak, Tanjungpinang.
4. Raja Haji Fisabilillah (1777-1784). Gugur di Teluk Ketapang dalam perang melawan Belanda. Dimakamkan di Penyengat.
5. Raja Ali (1784-1806). Wafat di Pulau Bayan dan dimakamkan di Tanjung Unggat.
6. Raja Djaafar (1808-1832). Wafat di Daik Lingga dan dimakamkan di Penyengat.
7. Raja Abdurrahman (1832-1844). Wafat dan dimakamkan di Kampung Bulang, Penyengat.
8. Raja Ali (1844-1857). Wafat dan dimakamkan di Penyengat.
9. Raja Abdullah (1857-1858). Wafat dan dimakamkan di Penyengat.
10. Raja Mohd. Yusuf al-Ahmadi (1858-1899). Wafat dan dimakamkan di Daik Lingga.
11. Raja Abdurrahman, merangkap sebagai Sultan Riau-Lingga (1899-1911). Wafat dan dimakamkan di Singapura.

Catatan :
Kerajaan Riau-Lingga berdiri pada 4 Oktober 1722 dan runtuh 11 Pebruari 1911. Secara resmi dihapuskan Belanda dari administrasi pemerintah mereka tahun 1913.
More about1.5. Masa Riau – Lingga

1.4. Masa Kesultanan Johor

Attayaya Butang Emas on 2008-07-18

Sesudah kejatuhan Kerajaan Melaka tahun 1511, maka bergantilah kepada Kerajaan Johor. Wilayah kekuasaannya menjadi semakin sempit, yaitu Johor, Pahang, Riau, Lingga dan beberapa daerah tertentu di daratan Sumatera. Kemudiannya ibukota kerajaan dipindahkan ke daerah bagian selatan yaitu Johor dan Riau.
Boleh dikatakan sesudah kejatuhan Melaka, dari berbagai sendi kehidupan mengalami kemunduran, sehinggakan berulang kali ibukota kerajaan berpindah-pindah dari Johor, Bintan, Pekantua, Bintan, Lingga Johor, Bintan dan Johor. Kehancuran kerajaan Johor begitu menyedihkan, terakhir ditandai dengan pertelingkahan antara Raja Kecil dengan Raja Sulaiman.

Syahdan, pada zaman Johor tersebutlah Sultannya yang pertama yaitu Sultan Alaudin Ri’ayat Syah yaitu putera dari Sultan Mahmud. Kemudian digantikan oleh Sultan Mudzafar Syah, inilah sultan yang suka bermusyawarah dengan orang-orang besar dalam mengambil suatu keputusan. Kemudian digantikan pula oleh puteranya bergelar Sultan Abdul Jalil Syah. Maka tersebutlah baginda mempunyai tiga orang puteradari gundeknya yang masing-masing bernama Raja Hassan, Raja Hussain dan Raja Mahmud. Kemudiannya Raja Hassan dirajakan di negeri Siak, Raja Hussain dirajakan di Kelantan, dan Raja Mahmud dirajakan di Kampar.
Sultan Johor berikutnya adalah Raja Mansor yakni putera dari Sultan Abdul Jalil Syah. Karena tiada menghiraukan akan kerajaan, maka ia digantikan oleh Raja Abdullah bergelar Ahmad Syah. Pada semasa inilah datang penyerangan dari negeri Aceh, maka kalahlah Johor, kemudian berundur ke Lingga, dari Lingga terus ke Tambelan, dan di negeri Kandil Bahar inilah raja Baginda mangkat.

Selanjutnya yang menjadi Sultan adalah puteranya yang bernama Sultan Abdul Jalil Syah, pada masa sultan inilah memerintahkan kepada orang besarnya Laksemana Tun Abdul Jamil (1673) untuk membuat negeri di Riau (Sungai Carang, Hulu Riau). Kemudian menggantikan kerajaan adalah Raja Ibrahim sebagi Sultan dengan Bendaharanya Tun Pekrama Habib bergelar Bendahara Sri Maharaja.
Kemudian Sultan Ibrahim Syah pun pindah ke Riau lalu mengalahkan Jambi dan Siak. Adapun yang menggantikan Ibrahim Syah adalah puteranya bernama Sultan Mahmud Syah, maka baginda itupun berpindah kembali ke Johor. Tiada lama kemudian mangkatlah Bendahara Tun Pekrama Habib, kedudukan Bendahara dilanjutkan oleh puteranya yang menjadi bendahara kerajaan.

Semasa inilah terjadi suatu peristiwa menghebohkan, yakni ketika Sultan Mahmud terbunuh di Kota Tinggi oleh Laksemana Megat Sri Rama. Dikarenakan Sultan Mahmud membelah perut Dang Hanum istri daripada Megat Sri Rama, yang kononnya hanya bersebab kepada mengidamkan seulas nangka. Konon, sejak itu bersalah-salahanlah di dalam negeri Johor itu. Dalam keadaan yang sedemikian itu salah seorang istri Sultan Mamud (gundek?) yang bernama Encek Pong, yang konon tengah hamil dapat diselamatkan oleh Nakhoda Malim, slah seorang hulubalang yang setia kepada Sultan Mahmud.
Setelah mangkatnya Sultan Mahmud, maka Bendahara kerajaan anak dari Bendahara Tun Pekrama Habib bergelar Bendahara Sri Maharaja menjadi Sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil IV. Pelantikan ini dilakukan, kononnya di Johor itu tiada lagi keturunan Sultan Mahmud Syah. Tersebutlah Sultan Abdul Jalil IV ini mempunyai tiga orang anak yang masing-masing bernama Raja Sulaiman, Tengku Tengah dan Tengku Kamariah.
Syahdan Nakhoda Malim yang menyelamatkan Encik Pong yang hamil ke dalam hutan, kemudian dilarikan ke hulu Sungai Johor. Alkisah, pada masa pelarian itulah lahir seorang putera yang dinamakan Raja Kecil. Kemudian dilarikan ke Jambi, ke Indragiri terus ke Pagaruyung. Disinilah beliau dididik dan diasuh, dijadikan putera angkat Raja Pagaruyung*).

Di dalam naskah silsilah Sultan-sultan Siak Sri Indrapura disebutkan, bahwa sebelum Raja Kecil diangkat putera oleh Raja Pagaruyung, beliau diuji dengan beberapa ujian :
Pertama : disandarkan ke pohon jelatang, sebab menurut adat di sana pada zaman itu, sesiapa yang bukan keturunan raja akan rusak tubuhnya oleh getah jelatang yang gatal itu.
Kedua : dikenakan mahkota Raja Pagaruyung, menurut adat di sana, kalau bukan seorang putera raja yang berhak untuk menjadi raja, maka ia akan kena tulah atau laknat mahkota itu.

Setelah Raja Kecil berhasil melalui ujian itu, beliau diangkat sebagai seorang putera angkat Raja Pagaruyung dengan gelar Yang Dipertuan Cantik Raja Kecil. Sejak itu beliau diajarkan sebagaimana layaknya seorang raja. Setelah bundanya Encik Pong mangkat, maka sekitar tahun 1719 M, timbullah niat Raja Kecil untuk pergi ke Johor menuntutkan bela ayahandanya. Bahkan Raja Pagaruyung membantu niat itu dengan memberikan pengiring yang terdiri dari orang-orang besar dan Hulubalang Pagaruyung. Di antara orang-orang besar itu, diantaranya yang terkenal adalah :
1. Syamsuddin gelar Sri Perkiraan Raja (Datuk Tanah Datar).
2. Bebas gelar Sri Bejuangsa (Datuk Lima Puluh).
3. Syawal gelar Sri Dewa Raja (Datuk Pesisir).
4. Yahya gelar Maharaja Sri Wangsa (Datuk Hamba Raja).
5. Hamzah gelar Buyung Ancah (Putera Titah Sungai Tarab).

Maka tercatatlah dalam sejarah bahwasanya Sultan Abdul Jalil berkuasa selama sembilan belas tahun dalam kesenangannya dan makmurnya negeri Johor, hingga tiada terduga datanglah Raja Kecil dengan beberapa kelengkapannya melanggar Johor.
Tiada berapa lama kalahlah negeri Johor itu kepada Raja Kecil. Sementara Sultan Abdul Jalil bersama keluarga dan orang-orang besarnya melarikan diri kepada suatu kampung. Di sanalah Sultan bermusyawarah dengan orang-orang besarnya, apakah akan meneruskan peperangan ataukah menyerah saja? Akhirnya Sultan Abdul Jalil menyerah dan Raja Kecil menerima penyerahan itu dengan senang hati. Maka hendak diperbaiki barang yang telah cacat itu, dengan bermaksud hendak mendudukkan Sultan Abdul Jalil yang kalah perang itu sebagai Bendahara semula. Tetapi niat baik Raja Kecil dianggap suatu penghinaan. Dalam pada itu, terniat kepada Raja Kecil untuk menghilangkan permusuhan dengan cara menikahi Tengku Tengah anak dari Abdul Jalil itu, maka bertunanganlah mereka itu. Tetapi pada suatu ketika, di Hari Raya, Sultan Abdul Jalil datang bersama putera-puteranya, dan Tengku Kamariah pun dibawa serta. Demi memandang kepada Tengku Kamariah yang elok parasnya, maka tertariklah Raja Kecil, maka dimintanya Tengku Kamariah itu sebagai permaisurinya. Maka tiadalah Sultan Abdul Jalil itu untuk berkata-kata. Syahdan, makamenikahlah Raja Kecil dengan Tengku Kamariah itu. Dan peristiwa ini, konon, yang menjadi pokok sengketa yang menimbulkan perang berlarut-larut sampai ke anak cucu beliau.

Tersebutlah pula beberapa hal yang membuat Sultan Abdul Jalil dan Puteranya Raja Sulaiman merasa sakit hati akan perlakuan dari Raja Kecil itu, terutama Tengku Tengah yang telah dipermalukan. Lalu bermufakatlah dua bersaudara Raja Sulaiman dengan Tengku Tengah yang hendak mendudukkan Tengku Tengah dengan Raja Bugis Upu Daeng Perani itu. Lalu dalam sesuatu jamuan diundanglah Upu-upu itu makan, kemudian Tengku Tengah berdiri di pintu selasar membuka bidai, melipok subang di telinganya sambil ia berkata, “Hai! Raja Bugis! Jikalau sungguh tuan hamba berani, tutupkanlah keaipan beta anak beranak, adek-beradek. Maka apabila tertutup keaipan beta semua, maka redhalah beta menjadi hamba Raja Bugis. Jikalau hendak disuruh jadi penanak nasi raja sekalipun! Redhalah beta”**). Maka apabila Upa (Upu) Daeng Perani mendengar kata Tengku Tengah itu, maka iapun menjawab, seraya katanya, “Insya Allah ta’ala, seboleh-bolehnya hamba menutup keaipan Tengku semua, anak-beranak, adek-beradek.”

Syahdan maka menikahlah Upu Daeng Perani dengan Tengku Tengah. Sementara itu Raja Kecil yang mengetahui pernikahan itu, telah bercuriga hatinya maka kemudian bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Konon, setelah menikah Upu Daeng Perani keluar berlayar dari negeri Johor untuk menyusun kekuatan. Sementara itu di dalam kerajaan mengharu-birulah dengan segala kerja yang bersalahan. Konon, ketika Raja Kecil sedang melakukan sembahyang, datanglah Tengku Tengah membawa pulang Tengku Kamariah. Ketika diketahui oleh Raja Kecil, marahlah ia, dan meminta Tengku Kamariah kembali tetapi tiada diperkenankan oleh Tengku Tengah. Maka datanglah Raja Kecil melanggar kepada Abdul Jalil, tejadilah peperangan. Maka berundurlah Abdul Jalil bersama keluarga dan orang-orang besarnya yang masih setia, keluar dari Johor. Setelah Abdul Jalil keluar dari Johor, bertitahlah Raja Kecil kepada segala menterinya, seraya katanya, “Ini Negeri celaka, baik kita pindah ke Riau.” Maka tiada berapa lama berpindahlah ke Riau.

Keterangan :
*) Mengenai nama Raja yang memerintah di Pagaruyung waktu itu terdapat pertikaian, di dalam buku Tuhfat al-Nafis, Yam Tuan Sakti dengan ibundanya bernama Puteri Janilan. Sedangkan dalam naskah tulisan Kerajaan Siak disebutkan raja itu Gadih Terus Mata.
**) Tuhfat al-Nafis, karya Raja Ali Haji (Sejarah Melayu dan Bugis) terbitan Malaysia Publications LTD Singapura 1965.
More about1.4. Masa Kesultanan Johor

1.3. Semasa Kesultanan Melaka

Attayaya Butang Emas on 2008-07-17

Setelah mendirikan kerajaan di Melaka, tiada berapa lama mangkatlah Iskandar Syah yang kemudian digantikan oleh puteranya yang bernama Raja Besar Muda. Raja inilah memperbuat menteri hingga berjumlah empat orang, dan bentara yang berempat; berdiri di ketapakan untuk menyampaikan titah raja kepada seseorang dan menyampaikan persembahan orang-orang meminta memaklumkan kepada raja. Dan Raja Besar Muda inilah yang mulai membuat alat semberaba kerajaan yang dibawa ke balai.

Syahdan apabika mangkat Raja Besar Muda, puteranya yang bernama Raja Tengah menggantikan kedudukan sebagai raja. Seterusnya pemerintahan dipegang putera Raja Tengah yang bernama Raja Kecil Besar. Dan semasa raja inilah menurut ceritanya, beliau terkenal sebagai seorang raja yang adil bijak-bestari. Raja inilah yang mula-mula masuk Islam, maka bagindapun bergelar dengan nama Sultan Muhammad Syah. Sultan inilah yang meletakkan adat Melayu seperti warna kuning yang menjadi baju dan destar raja-raja. Kemudian larangan membuat rumah kepada rakyat yang mempunyai peranginan dan tiangnya dan tiangnya beralas tiada terletak ke tanah (tiangnya ditanam ke tanah). Kemudian juga terlarang kepada rakyat untuk membuat rumah berpelayan dan berpelantaran. Demikian juga dalam pembuatan perahu, terlarang memiliki tingkap dan berpengadapan. Kemudiannya terlarang juga kepada hamba rakyat untuk bergelang kaki emas keranchang, walau kaya sekalipun; melainkan mendapat anugerah raja. Kemudian ditetapkan juga di dalam adat yang boleh datang menghadap ke Balai Rong adalah anak-anak raja jua. Sedangkan Raja Muda, Bendahara, Temenggung, Indera Bungsu dan segala menteri-menteri daripada raja-raja hanya dapat menghadap Sultan di Seri Balai. Sultan Muhammad Syah berkuasa selama 67 tahun. Sejak saat itulah istilah RAJA berganti dengan panggilan SULTAN.

Sultan terakhir sebagai kerajaan yang merdeka ialah Sultan Mahmud Syah I. Pada saat ini kerajaan Melaka diserang oleh Portugis. Dan Portugis berhasil mengalahkan serta menduduki Melaka dari tahun 1511 -1641 M.

Kemudiannya Melaka menjadi pusat pemerintahan kesultanan yang menguasai sebagian wilayah di Selat Melaka termasuklah wilayah-wilayah Pesisir Timur Sumatera. Sultan-sultan Melaka beriktiar sekuat tenaga untuk menjadikan wilayahnya sebagai pusat pemerintahan, pusat perkembangan Islam dan kota dagang di Asia Tenggara serta berhasil pula menjadi pusat peradaban Melayu. Keberhasilan Melaka menjadi pusat peradaban dan tamadun Melayu berkat usaha dari Sultan yang dibantu oleh para laksemana seperti Hang Tuah yang kemudian mengeluarkan ungkapan terkenal :

Tuah sakti hamba negeri,
Esa hilang dua terbilang,
Patah tumbuh hilang berganti,
Takkan Melayu hilang di bumi.


Kepemimpinan Melaka zaman kesultanan ini ditandai dengan terbitnya Undang-undang Melaka yang antara lain menetapkan adat mempunyai kedudukan yang penting dalam menentukan keadilan di dalam megeri. Kemudian pengaruh Islam juga semakin besar, tidak saja dalam pemerintahan tapi juga dalam kehidupan kemasyarakatan.

Sultan sebagai penguasa tertinggi dalam pemerintahan dan agama. Penggantian Sultan atas dasar keturunan dari pihak ayah, tidak boleh dipindahkan. Dan setelah mendapat persetujuan dari pembesar-pembesar istana lainnya. Selanjutnya disebutkan pula bahwa Datuk Bendahara sebagai wakil Sultan atau Perdana Menteri. Laksemana sebagai penguasa di laut. Penghulu Bendahari berfungsi sebagai pembantu Bendahara. Jabatan lainnya ialah Khalifah, Amir, Syarif dan Qadhi.

Tersebut pula suatu pertelingkahan di antara raja-raja itu adanya, yaitu pertelingkahan antara Sultan Mahmud dengan puteranya Sultan Ahmad Syah yang mengakibatkan perpecahan kepada enam keturunan raja Melayu di dalam Melaka. Kemudiannya berpindahlah kerajaan ke Johor, dari Johor terus ke Riau.
More about1.3. Semasa Kesultanan Melaka

1.2. Kerajaan Singapura

Attayaya Butang Emas on 2008-07-15

Apabila Raja Sri Tri Buana membuat negeri di Temasik, maka Wan Sri Beni itu pun ikut pindah. Adalah nama Singapura itu mula-mulanya Temasik. Syahdan, ketika Raja Sri Tri Buana sedang menebas hutan, terlintaslah dihadapannya seekor binatang seperti singa, lalu binatang itu menghilang. Maka jadilah negeri itu digelar Singapura mengambil nama sempena binatang yang melintas tersebut adanya.

Tiada berapa lama kemudian mangkatlah Wan Sri Beni dan dikuburkan di Bukit Singapura. Lalu mangkat pulalah Demang Lebar Daun dan Menteri Ria Buah Pala. Sekira dua tahun kemudian mangkat pula Baginda Raja Sri Tri Buana dan dikuburkan juga di Bukit Singapura tiada jauh dari kuburan Wan Sri Beni.

Setelah mangkat, Raja Tri Buana digantikan pula oleh puteranya bernama Sri Pekrama Wira. Sri Pekrama Wira mempunyai pula seorang saudara bernama Raja Kecil Muda, maka dijadikannya menteri besar di gelar Bendahara Tun Permata Muka Berjabar. Maka Sri Pekrama Wira inilah yang mula-mula membuat kepada sebutan Bendahara yang mempunyai kuasa memerintah segala menteri-menteri di bawah takhta kerajaan.

Kemudian mangkat pula Sri Pekrama Wira ini, maka digantikan oleh puteranya yang bernama Raja Muda bergelar Sri Ratna Wikrama dan bendaharanya adalah anak dari Tun Permata Muka Berjabar. Pada semasa inilah di dalam negeri muncul seorang dari rakyatnya yang sangat perkasa dam kuatnya yang dapat mencabut pokok kayu besar-besar sekira dua-tiga pelukan manusia dewasa. Nama hamba rakyat itu adalah BADANG.

Sebagai raja berikutnya adalah Damiya Raja, putera dari Sri Pekrama Wira, yang bergelar Sri Maharaja. Kononnya dalam pemerintahan Sri Maharaja inilah negeri Singapura mendapat musibah, yakni dilanggar oleh beribu-ribu ikan todak, maka banyaklah rakyat yang terbunuh. Hal ini dikarenakan sang raja membunuh seorang ulama yang bernama Tuan Zainal Al-Khatib. Kemudian turunlah bala’ itu.

Kemudiannya setelah mangkat Sri Maharaja, digantikan oleh puteranya yang bernama Raja Iskandar Syah. Dan pada ketika inilah Kerajaan Mojopahit datang menyerang mengalahkan Kerajaan Singapura. Adalah sebabnya Raja Iskandar Syah ini mempunyai seorang gundek, anak dari menterinya yang bernama Sang Rajuna Tapa bergelar Penghulu Bendahari. Kononnya gundeknya itu ada “bermain” dengan seorang laki-laki. Maka murkalah sang Raja, tanpa usul periksa, langsung dibunuh. Sementara sang ayah yaitu Sang Rajuna Tapa tidak terima karena anaknya dibunuh begitu saja. Lalu Sang Penghulu Bendahari ini meminta bantuan kepada Kerajaan Mojopahit untuk membalaskan sakit hatinya. Tiada berapa lama kemudian, dikarenakan juga sebelumnya Mojopahit berseteru dengan Singapura, dengan adanya jalan itu datanglah menyerang pasukan dari Mojopahit ini dan kalahlah Singapura. Lalu Raja Iskandar Syah melarikan diri ke Melaka dan memperbuat pula kerajaan di Melaka. Sejak saat itulah Kerajaan Singapura runtuh. Maka tercatat dalam sejarah kerajaan Melayu Singapura itu hanya sampai kepada lima keturunan.
More about1.2. Kerajaan Singapura

1.1. Kerajaan Bentan*)

Attayaya Butang Emas

Menurut sejarah Melayu, sebelum Kerajaan Melayu Singapura, Melaka, Johor, Riau dan Siak Indrapura; di Kepulauan Riau telah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Bintan. Pusat kerajaannya berada di Pulau Besar yang kemudian terkenal dengan nama Pulau “Bintan”.**) Konon, pulau ini pada mulanya dihuni oleh pendatang dari berbagai daerah bahkan ada yang dari Kamboja dan India. Disebabkan keadaan letaknya yang baik untuk lalu lintas perdagangan di Selat Melaka, menyebabkan negeri ini cepat berkembang. Diperkirakan sekitar 1100 M tersebutlah seorang raja yang bernama Raja Asyhar-Aya yang beristrikan Wan Sri Beni, dan dari perkawinan itu diperolehlah seorang puteri yang kemudian terkenal dengan nama Puteri Bintan. Pada waktu sang raja mangkat, Puteri Bintan belumlah dewasa, maka pemerintahan dipegang oleh Ibunda Wan Sri Beni (1150-1158 M).
beliau ini pulalah yang merupakan ratu pertama dalam kerajaan Melayu. Kemudian pada akhir masa Kedatuan Sriwijaya, sekitar tahun 1158 M tersebutlah Raja Tribuana bersama Deamng Lebar Daun turun dari Bukit Siguntang, Palembang, untuk emncari kawasan baru, dan yang menjadi tujuan pertama adalah Bintan. Ternyata di Bintan telah ada seorang penguasa bernama Wan Sri Beni. Syahdan, menurut beberapa cerita, maka Tribuana yang bergelar Sang Nila Utama itu dikawinkan dengan Puteri Bintan kemudian dilantik sebagai Raja yang menggantikan kedudukan Ibunda Wan Sri Beni.
Selanjutnya Tribuana Sang Nila Utama melanjutkan perjalanannya dan sampailah ke suatu tempat yang bernama Temasik. Di Temasik ini didirikannya pula sebuah kerajaan yang diberi nama Singapura.

Keterangan *) :
Orang-orang di Bintan dan sekitarnya menyebut kata Bintan biasanya huruf I diganti dengan huruf e pepet. Jadi menyebutnya Bentan bukan Bintan.
Keterangan **) :
Tentang penamaan Bintan itu terdapatlah dua penafsiran, pertama adalah berasal dari kata “bantai-an” yakni tempat pembantaian lanun-lanun. Penafsiran kedua adalah, kononnya ada seorang saudagar yang bernama “Bai-intan” terdampar di pulau itu. Sedangkan tentang Pulau Bintan dijelaskan dalam kitab yang berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa (1857) susunan Raja Ali Haji, antara lain : “Bintan yaitu di dalam daerah Negeri, satu pulau yang besar daripada segala pulau-pulau di dalam daerah Riau. Adalah ia bergunung yang lekuk di tengah-tengahnya. Adalah rajanya asalnya Wan Seri Bani namanya, yaitu perempuan. Kemudian datang raja Tribuana dari Palembang, diperbuatnya anak angkat. Maka diserahkannya negeri Riau itu dengan segala takluk daerahnya kepada Raja Seri Tribuana itu. ……”
More about1.1. Kerajaan Bentan*)

1. Melayu Dalam Lintasan Sejarah

Attayaya Butang Emas

Sejarah adalah sesuatu bagian daripada ilmu sosial dan menggunakan pendekatan ilmu sosial untuk penelitian dan penulisannya dengan menganut teori sejarah kritis untuk mereka-balik dan interpretasinya. Sememangnyalah diakui bahwa ada interpretasi tentang sumber Sejarah Melayu dan sumber-sumber yang serupa mempunyai kelemahan. Tetapi penulisan yang mutakhir, sumber itu dapat dijadikan pegangan sepanjang mengandung kebenaran sesuai dengan keadaan masyarakat keturunannya yang memiliki sikap, watak, dan prilaku yang sepadan. Sebab, menulis sejarah dapat pula diamati kepada nilai-nilai jiwa masyarakat penerusnya yang memiliki ciri dan kepribadian sesuai sumbernya.
Menurut dalam catatan sejarah, suku pertama yang mendiami Nusantara ini adalah suku WEDOIDE. Hidupnya mengembara, karena semata-mata bergantung pada alam (food gathering). Periode berikutnya datang ras rumpun Melayu dalam dua gelombang. Gelombang pertama sekitar 2500 – 1500 SM datang dari dataran Asia menyebar ke semenanjung Melayu dan Nusantara bagian Barat. Mereka dikenal dengan sebutan suku PROTO MELAYU. Sekitar 300 SM datang gelombang kedua yang disebut suku DEUTRO MELAYU, mereka mendesak suku Proto Melayu ke daerah pedalaman. Sisanya bercampur dengan pendatang baru itu yang kemudiannya menurunkan manusia yang kini disebut suku MELAYU. Kemudiannya tercatat dalam sejarah bahwasanya kepemimpinan Melayu merupakan campuran antara kenyataan dan mitologi. Semisal kepada pemimpin di negeri Melayu berasal dari seorang raja besar yang menguasai dunia yaitu Iskandar Zulkarnain. Kemudian tersebut pula bahwa asal-usul raja Melayu dari Bukit Siguntang Mahameru di Palembang sebagai salah satu pusat kekuasaan Sriwijaya. Dari gambaran tersebut dapat diambil kira bahwa orang Melayu dalam menentukan pemimpinnya memerlukan gambaran sosok orang yang besar dan agung.
Lintasan sejarah Melayu dapat pula diperkatakan kepada beberapa penggalan tulisan perjalanan yaitu Kerajaan Bentan, Kerajaan Singapura, Semasa Kesultanan Melaka, Kesultanan Johor, Riau-Lingga, Masa Penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang dan Masa Kemerdekaan.
More about1. Melayu Dalam Lintasan Sejarah

1 PENGGALAN PERTAMA : Melayu Dalam Penafsiran dan Pengertian

Attayaya Butang Emas on 2008-07-14



01
PENGGALAN PERTAMA

Melayu Dalam Penafsiran dan Pengertian



Awal bermula dengan pelangkah, mencari kepada saat yang baik memulai kerja, yaitu hendak berikhtibar dengan perkataan yang mempunyai makna dan arti yang boleh menjadi pegangan, yang mungkin sebelumnya lebih banyak mendatangkan keragu-raguan, sehinggakan boleh mendatangkan kepada anggapan atau pendapat yang kurang bersesuaian ataupun kurang tepat. Mudah-mudahan apa yang hendak disampaikan kepada pengertian sebagaimana yang termaktub, boleh mendatangkan kepada sesuatu kebaikan.

Hatta di dalam penafsiran dan pengertian inipun mengambil dan beikhtibar kepada anggapan dan pendapat orang-orang cerdik pandai jua adanya. Diantaranyapun ada pula kepada satu sama lainnya kurang bersepahaman yang merujuk kepada surat-surat yang diwariskan oleh sejarah maupun dari kepakaran keilmuan yang dimiliki setiap orang, atau mungkin atas dasar kepentingan sesuatu. Dalam hal yang sedemikian itu, tiadalah pula ingin memperbesar kepada perselisihan pendapat ataupun menjauhkannya daripada inti sebenarnya yaitu kebenaran. Yang kesemuanya bermuara demi kepentingan dan kemaslahatan orang banyak.


Silang pendapat ataupun kurang berkesesuaian kepada sesuatu pekerjaan tidak semata hanya kepada kepentingan sesuatu melainkan mungkin oleh keilmuan masing-masing. Atau dengan kata lain, keyakinan yang dimiliki, pada dasarnya juga untuk kebaikan dan kebenaran itu sendiri. Rasa-rasanya tiada yang terbaik selain kepada membersihkan hati dan pikiran daripada pekerjaan yang kurang berpatutan, seperti halnya mempunyai waksangka yang tidak-tidak, justru yang boleh menjejaskan kepada 'itikad baik sebagai manusia, sebagai insan yang kamil. Insya Allah apa-apa yang menjadi tanggung jawab sekaligus cita-cita keinginan sampai kepada matlamatnya.
Demikianlah hendaknya ...

More about1 PENGGALAN PERTAMA : Melayu Dalam Penafsiran dan Pengertian

Bismillahirrahmaanirrahimi

Attayaya Butang Emas on 2008-07-10



Bismillahirrahmaanirrahimi
Alhamdu li 'llahi 'lladzila syarika lahu fi mulkihi wa la hakima lihikumihi lahu'lmulku wa lahulhukmu wa huwa biahkami'lhakimina. Kama qala fi kitabihi 'lqadimi. Quli'llahumma malika'lmulki tu'tilmulka man tasyaau wa tanzi'ulmulka mimman tasyaa'u watu'izzu mantasyaa'u wa tudhillu man tasyaa'u bi yadika 'lkhairu innaka 'ala kulli syaiinqadirun. Tuuliju'llaila fi'nnahari wa tuuliju'nnahara fi'llaili wa tukhriju 'lkhayya mina 'lmayyiti wa tukhriju 'lmayyita mina 'lhayyi wa tanzaqu man tasyaa'u bi ghairi hisabin

Segala puji bagi Allah juga yang tiada ada dalam kerajaan-Nya itu sekutu bagi-Nya dan tiada ada yang menghukumkan bagi hukum-Nya itu. Ia juga empunya kerajaan dan Ia jua empunya hukum, sedang Ia-lah yang telebih bijak daripada sekalian hakim, seperti berkata Ia dalam kitab-Nya yang qadim : "Katakanlah olehmu, wahai, Allah, Engkau jua Raja yang empunya Kerajaan, akan memberi kerajaan itu pada barang siapa yang Kau kehendaki dan mengambil kerajaan itu daripada barang siapa yang Kau kehendaki, dan memuliakan barang siapa yang Kau kehendaki dan menghinakan barang siapa yang Kau kehendaki; pada tangan qodratmu jua segala kebajikan. Bahwa sesungguhnya Engkau jualah yang memasukkan malam dalam siang dan yang memasukkan siang dalam malam, dan yang mengeluarkan yang mati daripada hidup, dan memberi rezki akan barang siapa yang Kau kehendaki dengan tiada hisabnya itu.

Kemudian daripada itu, disampaikan salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kehadirat nabi kita Muhammad SAW. Keluarganya yang thahirin thayibin dan sahabat-sahabatnya yang shalihin muttaqin.

Pada seketika ini hendaklah diperbuat atau hendak menyusun untuk memberitahukan seluruh pelosok negeri dan seluruh pelosok bumi tentang adat resam Melayu yang mungkin sebenarnya sudah banyak diperbuat orang akan dia. Yakni, berkaitan dengan berbagai hal hidup dan kehidupan Orang Melayu dengan segala kelaku-perangainya dan lagak ragam yang kemudiannya melahirkan kepada kebiasaan, adat-istiadat dan seni budayanya.
Apa-apa yang telah sedia ada, atau berita-berita, atau kitab-kitab yang dikarang sebelum atau mungkin bersamaan dengan ini bahkan mungkin kepada yang sesudahnya kelak, patutlah diberikan laluan dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Karena daripadanya diperdapat berbagai pengetahuan, penambah seri dan harumnya di dalam majelis kehidupan dengan bermacam ragam bunga rampai. Selain itu, kitab-kitab yang telah dikarang ataupun disusun tersebut dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, tetaplah ianya mempunyai maksud yang terkandung untuk memberikan yang terbaik bagi hidup dan kehidupan ini. Pada intinya hendak memberikan sesuatu yang berfaedah dan kemaslahatan kepada orang banyak. Lebih-lebih kitab yang sebelumnya diperbuat oleh para cerdik pandai, budayawan dan ilmuwan dengan segala pengetahuannya dan disampaikan pula dengan bahasa yang sangatlah baiknya. Sehinggakan menambah tingginya nilai-nilai yang terkandung dalam kitab tersebut. Maka tiadalah mengherankan jika kesemuanya itu menjadi bahan penambah sekaliannya melengkapkan sehingga ianya dapat terlihat seperti sekarang ini.
Sememangnyalah diakui, bahwasanya banyak ataupun paling sedikit tetap ada, di antara adat resam ataupun kebiasaan-kebiasaan yang sudah dianggap mentradisi pada dahulunya itu, kemudiannya sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman; tiadalah diikuti lagi atau dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam acara-acara tertentu. Sebab-sebab daripada tiada diikuti dan dilaksanakan, kemungkinan dikarenakan tidak bersesuaian lagi dengan alam dan zamannya (termasuk kepada anggapan), atau mungkin juga di antara dari adat resam itu dianggap lebih banyak kepada mengeluarkan ongkos atau biaya yang besar dan dianggap sebagai kerja yang mengade-ade dan hanya sebagai pemubaziran. Malahan ada pula yang lebih teruk dan menceme'eh kepada orang yang masih mengikut kepada adat resam itu, dikatakan adalah kerje merapek, kerje tak masuk akal, dan masih banyak lagi perkataan yang dilontarkan.

Akan halnya yang sedemikian itu tiadalah pula boleh dipersalah-salahkan. Karena terkadang terdapatlah beberapa pemahaman dan pemikiran yang berbeda antara satu kepada lainnya terhadap adat resam yang telah sedia ada itu. Apatah lagi di zaman seperti sekarang ini (tulisan ini diposting tahun 2008), ketika semuanya serba maju dan canggih yang sebenarnya mempunyai pengaruh terhadap pikiran dan jiwa seseorang, yang bukan tidak mungkin, sesuatu terpinggirkan dan tidak diindahkan lagi. Walaupun begitu, dianya jangan mematahkan semangat. Sebab, adat resam, adat istiadat yang kesemuanya bermuara kepada "Budaya" budidayanya Orang Melayu, adalah sesuatu yang sangat tinggi, mempunyai nilai-nilai hakiki dari kehidupan itu sendiri, sehingga kita bersepakat dan berkeyakinan bahwa semaju-majunya orang, selahi ianya manusia, dirinya tidak akan pernah terlepas dengan namanya adat istiadat ataupun budayanya.

Adapun masa atau waktu yang dipergunakan sememangnyalah sangat lama untuk menyusun kitab "butang emas" ini yakni sejak awal tahun 1990. Hal ini lebih dikarenakan tingkat kesulitan yang dihadapi dari segi data ataupun bahan-bahan yang diperlukan. Apatah lagi wilayah Kepulauan Riau secara geografis yang terdiri dari pulau-pulau dan perairan yang luas, sehingga banyak memakan masa, disamping itu juga mencari bahan sampai ke wilyah lainnya di Indonesia, seperti di beberapa kabupaten lain di Propinsi Riau, Medan (Teja), Jambi dan Pontianak (Amir). Kemudian juga mencari bahan-bahan yang diperlukan sampai ke negeri jiran seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand, paling tidaknya sebagai pembanding.

Mengingat tenggat waktu yang begitu lama, barulah kitab ini dapat disusun dan diterbitkan, banyaklah di antaranya orang-orang tua yang menjadi sandaran tempat bertanya dan meminta ilmu telah berpulang ke rahmatullah, seperti Allahyarham Ayahanda R. Rajak, Ayahanda/Kekanda Mochtar Zam, Kekanda R. Hamzah Yunus, Tok Muhammadin Awang dan Kekanda Drs. Imran Nuh; Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Maka sehingga tiada berkesempatan untuk menyaksikan sampai kepada selesainya pekerjaan menyusun kitab ini. Orang-orang tua ini yang dahulunya menjadi sandaran tempat bertanya, meminta ilmu, mengumpulkan bahan-bahan dengan wawancara ataupun perbualan mengenai adat resam Melayu.

Sebagaimana yang telah diungkapkan bahwa menyusun kitab ini sebenarnya telah direncanakan cukuplah lama (gagasan untuk menyusun kitab ini oleh MOCHTAR ZAM), yakni pada awal-awal tahun '90 (hingga tanpa disadari telah terbit pula kitab-kitab yang hampir sama, tetapi tidaklah melemahkan semangat, melainkan sangat berterima kasih karena dengan terbitnya kitab-kitab tersebut dapat menambah pengetahuan penyusun) yang telah melakukan pengumpulan dan penelitian walaupun ianya dilakukan tidak secara berurutan, kemudian kebetulan pula pada tahun 1995 saudara Amiruddin bersama bapak Goris Kraf mengadakan penelitian dan pemetaan bahasa. Kesempatan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk mengadakan wawancara dengan berbagai masyarakat dan kalangan lainnya. Bersamaan dengan itu hampirlah kepada kami saudara Teha Al-Habd dengan keinginan yang sama untuk ikut bersebati dalam penyusunan kitab ini dengan muatan ungkapan tradisi dan pengetahuannya. Akan tetapi setelah sekian lama, barulah kata keinginan terkota dalam meluahkan apa-apa yang telah terpendam sekian lama di dalam kitab ini, alhamdulillah.

Syahdan, itulah mutiara pemikiran yang hendak disampaikan sebagai pembuka kata sekaliannya mengkota kata hingga terkota kitab ini yang kami namakan "BUTANG EMAS" WARISAN BUDAYA MELAYU KEPULAUAN RIAU.
Selain daripada itu dengan sangat sukanya dan hati yang ikhlas mengucapkan sekalung budi terimakasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda R. Rajak, Ayahanda/Kekanda Mochtar Zam, demikian juga halnya dengan Kekanda R. Hamzah Yunus, Tok Muhammadin Awang dan Kekanda Drs. Imran Nuh yang kesemuanya pada masa penyusunan kitab ini telah berpulang ke rahmatullah, akan tetapi sebelumnya ketika semasa hidupnya telah banyak memberikan butir-butir pengetahuan dan pengalamannya memberikan tunjuk ajar mengenai adat resam yang berlaku bagi orang Melayu. Kemudian daripada itu juga diicapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Daud Kadir (saat blog ini ditulis, beliau telah berpulang ke rahmatullah di bulan Juni 2008; Innalillahi wainna ilaihi roji'un), Bapak Abdul Razak sebagai tokoh masyarakat dan budayawan, kemudian kepada Tok Keling dan Bunda R. Chatijah; semogalah apa-apa yang telah menjadi manikam atau butang emas kepada alam dan keturunan, mendapat pahala dan balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada semua sahabat antara lain R. Malik, R.M. Yamin, dan beberapa kalangan yang sayangnya tiada dapat disebutkan satu-persatu, juga kepada Musium Kandil Riau (dahulunya), Kepada Kantor Jarahnitra Tanjungpinang serta kepada Balai Maklumat Riau di Pulau Penyengat. Kemudian terkhusus kepada Kekanda (Mas) Machzumi Dawood yang dengan telaga ilmu dan jiwanya terus mengaliri di ladang-ladang hatiku. Juga kepada anaknda Mukhtar yang telah bersusah payah membantu untuk membuatkan ilustrasi dan reka bentuk di dakam kitab ini, juga kepada Mbak Dwi Stiati dan Evawarni yang dengan kesabaran serta penuh dedikasi memberikan/mencarikan bahan-bahan yang diperlukan sebagai bahan untuk kitab ini. Segalanya dan semuanya, hanya Allah SWT jua yang akan membalas kebaikan tersebut.
Amin!

More aboutBismillahirrahmaanirrahimi

dengan Bismillah

Attayaya Butang Emas

Madahnya sayup melayang-layang
suling bernyanyi di tengah kota
Indahnya hidup berkasih sayang
saling menghargai di antara kita


Dengan bismillah permulaan kalam,
Sebagai hajat mengangkat batang terendam,
Harapkan adat, seni dan budaya dapat terus diandam,
Menjadi seloka, ibarat, kias, tamsil permata nilam,
Menghalus rasa, budi dan jiwa nan kelam,
Menjadi ruh dan jiwa Melayu sebagai ikutan siang dan malam.

Itulah adat resam, budaya orang Melayu tempat bersemayam.

Berumah di tepi pantai hendak tahu besarnya gelombang,
Berburu di hutan hendak pandai menjinak harimau yang garang,
Bermain keris hendaklah bijak menimang-nimang,
Pikiran dan jiwa tidak menjadi gamang,
Apatah hidup berkesesuaian dan berimbang,
Pandai meletak, memanis dan menggaram cerita dikarang,
Tiada orang bercekau melintang pukang.

Harum baunya si bunga melati,
letakkan bersama daun selasih.
Mari kita membangun negeri,
menjalin rasa menebar kasih.

Bunge raye di tepi tanjung,
jangan direnggut dahan berpaut.
Adat budaye rase nak junjung,
hidup mengikut pade yang patut.


Adat resam, seni budaya Melayu yang bersebati dalam hidup,
Menjadi ikutan dari zaman berzaman sudahlah termaktub,
Demikianlah yang tersurat di dalam kitab yang terlingkup,
Harapkan ianya menjadi.

Lamalah sudah kitab ini disusun, dikaji oleh penyusun,
Dengan harapan hidup turun temurun menjadi santun,
Antara satu dengan yang lain selalulah rukun,
Kitab "Butang emas" yang berisikan warisan menuntun.

Oleh karenanya, sangatlah elok kalau orang muda,
atau anak sekolah dapat membaca dari pustaka.

Orang tua mengajarkan dengan cara yang patut dan bersahaja,
Akan warisan, adat budaya kepada anak keturunan nan belia,
Supaya hidup tiada mengalami bersalah-salahan di atas dunia,
Tak hanya orang tua yang beradat, yang muda juga berbudaya.

Dalam situasi seperti sekarang,
ketika bertegang urat selalu dilakukan orang,
bercekau-cekau, menohok dari belakang,
tiada perduli orang terjengkang,
yang penting dirinya menang,
menggunting dalam lipatan,
dengan kasar angkat bicara sambil menantang,
seakan melupakan bahwa kita adalah masyarakat yang tenang.
Maka, bersesuaianlah kitab "Butang Emas" disusun-dikarang.
Yang kembali mengajak kepada kita untuk menata ulang.
Segala kelaku yang tidak berpatut mengikut pada yang terang.

Alangkah indah, dengan tetap menyuburkan keberagaman,
Akan haknya fi'il dan cara bertutur dengan cara yang aman,
Sebelum mencubit orang,
Rasakan sendiri pada lengan.

Akhirnya, diharap dengan kehadiran Butang Emas ini,
bermanfaat bagi masyarakat di negeri Gurindam berperi,
dan juga dapat bernaung ke merata negeri,
paling tidaknya ianya mempunyai nilai yang bestari,
dan dapat dijadikan pendiding kepada diri,
semoga niat baik kita semua untuk membangun negeri,
melalui pendekatan adat dan seni-budaya dapat terpenuhi,
mendpat ridho Allah Subhanahuata'ala Illahi Rabbi.

Cantik sungguh gadis berkebaya,
pergi ke sawah menanam padi.
Teruslah maju seni budaya,
Demi marwah dan tuah negeri


More aboutdengan Bismillah

Adat Resam

Attayaya Butang Emas

Adat resam ataupun disebut juga dengan adat istiadat merupakan bahagian dari kebudayaan, sementara kebudayaan itu sendiri merupakan peristiwa penting dan utama dalam sejarah dari kehidupan manusia. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa manusia dapat sampai pada aras modern seperti ini, dikarenakan sejak dini manusia diperkenalkan dengan kebudayaan.

Kebudayaan merupakan dasar gerak kehidupan, oleh karenanya tiadalah mengherankan, kalau kemudiannya kebudayaan menjadi tempat bagi orang untuk mengenal sesuatu. Dari mulai pembagian fase kehidupan secara luas sampai kepada suatu komunitas masyarakat, bahkan sampai kepada kehidupan keluarga dan pribadi. Dengan demikian kebudayaan merupakan implementasi dari seperangkat pemahaman, harapan dan sekaligus kehendak manusia dalam membangun dirinya. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sebuah sisi yang paling adil dari eksistensi manusia. Kebudayaan tidak disembunyikan, ianya terdedah secara alami dan menyiapkan sebuah jalan yang terbentang dan mempersilakan orang untuk masuk kedalamnya.

Ketinggian kebudayaan sebuah negeri lebih kepada nilai dan penetapan identitasnya, demikian juga halnya kebudayaan yang ada di Indonesia yang begitu banyak dan beragam, akan tetapi justru dengan keberagaman yang ada menjadikannya sebagai bunga rampai yang indah dan berbau harum sekaligus meninggikan kepada nilai budaya itu sendiri. Tidaklah terkecuali dengan kebudayaan Orang Melayu.

Kebudayaan Melayu yang hampir menjadi "batang terandam" karena pengaruh perkembangan zaman, haruslah ianya diangkat kembali oleh orang-orang Melayu khususnya, dan orang-orang Indonesia pada umumnya. Dengan memperkenalkan adat resam Melayu kepada seluruh pelosok negeri dan seluruh pelosok dunia dengan harapan bahwa sisi lahiriah dan filosofis budaya Melayu dapat terus berkembang, selain itu juga bahwa adat resam Melayu adalah sebagai identitas atau jati diri orang Melayu sebagai sumber nilai kehidupan orang-orang Melayu itu sendiri.

More aboutAdat Resam

Amma ba'du

Attayaya Butang Emas

Amma ba'du : Tiadalah yang paling menyenangkan dan membahagiakan ketika kita sebagai manusia dapat menjalankan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, dan bermanfaat bagi orang lain serta berguna bagi kehidupan itu sendiri.
Sempurna kerja karena bersama.
Sempurna helat karena mufakat.
Berdiri marwah karena musyawarah.
Tegak adat karena mufakat.


Selanjutnya Pujangga Besar Melayu Raja Ali Haji dalam Gurindam 12 pada pasal pertama berpesan

barang siapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

barang siapa mengenal yang empat
maka yaitulah orang yang makrifat

barang siapa mengenal Allah
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

barang siapa mengenal diri
maka telah mengenal akan tuhan yang bahri

barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya

barang siapa mengenal akhirat
tahulah ia dunia mudharat


Demikianlah juga dalam kehidupan masyarakat Melayu yang mengikut kepada aturan ataupun ketentuan yang ada, baik yang tersirat maupun yang tersurat dari orang-orang tua kita dahulu yang kemudian kita kenal dengan adat resam dan tradisi Melayu. Adapun adat resam tersebut bolehlah dikatakan ianya mencakup hampir kepada semua sisi dan aspek kehidupan itu sendiri.
Berkurun waktu kita mengikut kepada aturan dan tata cara serta tunjuk ajar dari adat resam tersebut yang memang mengacu kepada ajaran agama Islam. Hal yang sedemikian rupa itu menjadikan masyarakat Melayu lebig beradat dan berbudaya. Oleh karenanya dpaat mengangkat marwah orang Melayu itu sendiri.
Akan tetapi ketika kita dihadapkan pada suatu dilemma kultural, yang disebabkan oleh arus globalisasi dan kemajuan zaman yang tak tertahankan, maka akan sangat dikhawatirkan boleh berpengaruh terhadap keberadaan adat dan kebudayaan yang sakral tersebut. Hal yang sedemikian itu sebahagiannya telah terlihat di depan mata kita, yang bukan tidak mungkin di suatu waktu nanti justru menghancurkan sendi-sendi dari kekuatan adat, seni dan budaya yang kita miliki selama ini. Itu sebabnya kita harus tetap berusaha keras untuk tetap melestarikan adat resam dan mengembangkan seni budaya daerah. Hal ini sesuai dengan arah dan adat dasar kebijaksanaan kebudayaan bangsa dalam perwujudan pengembangan kebudayaan nasional yang terus berkembang dengan landasan pucak kebudayaan daerah.
Apa-apa yang terdapat dalam kitab "butang emas" ini paling tidaknya telah memberikan suatu acuan dan muatan akan fi'il, kelaku dan perangai orang Melayu sejak mulai dalam kandungan, melahirkan, masa kanak, masa akhil baligh, perkawinan, dan kembali kepada Sang Penciptanya Allah SWT dengan segala adat tradisi dan seni budayanya. Hal ini semua menurut kepada apa-apa yang telah diperbuat oleh orang-orang tua kita dahulunya, risalah-risalah lama yang dirangkaikan, yang kemungkinan sebahagiannya tiada diketahui lagi oleh orang-orang muda di zaman sekarang. Tentulah akan sangat besar artinya bagi kita sebagai orang Melayu pada hari ini.

More aboutAmma ba'du

Butang Emas - Warisan Budaya Melayu Kepulauan Riau

Attayaya Butang Emas on 2008-07-05

Butang Emas, hanyalah lambang atau simbol sebagai "anak baju", "kancing", ataupun "benik" yang mengancingkan baju terdedah, supaya sesuatu yang tiada patut terpandang menjadi ditutupi dengan baik; kesemuanya mempunyai nilai dan makna filosofi budaya yang dalam. Demikianlah makna BUTANG dalam judul kitab ini, ditambah pula ianya dengan perkataan EMAS, sesuatu logam yang mahal dan mulia. Sehingga menunjukkan perkataan BUTANG EMAS yang menggambarkan kepada makna kancing yang sangat berharga, yang mengikat, mengancing-satukan sekalian mengekalkan. Sebagaimana adat resam, seni dan budaya melayu yang sedia ada di Kepulauan Riau.
Kepulauan Riau, suatu daerah atau selalunya disebut sebagai negeri Melayu adalah suatu perjalanan sejarah yang dimulai dari berdirinya kerajaan Melayu Bentan yang diperkirakan berdiri sekitar abad ke-11. Kemudiannya berkembang ke masa kemegahan kesultanan Islam di Melaka, Johor dan kembali ke Kepulauan Riau (Hulu Riau). Terpesona oleh negeri yang kaya akan tradisi budaya dan peninggalan leluhur, sebuah tim yang terdiri dari penulis didukung oleh fotografer dan designer, akhli sejarah, dari perpustakaan serta dari pakar-pakar budaya; penyusun bekerja keras untuk menyajikan kepada publik warisan budaya ini. Ratusan gambar, kitab-kitab tua dibaca, naskah kuno dipelajari, berbagai istana dan peninggalan dikunjungi, serta akhli-akhli adat dan tradisi diwawancarai.
Merupakan harapan kami bahwa "Butang Emas" yang terdiri dari hampir 1000 halaman (12+xvii+910) ini yang dilengkapi dengan ilustrasi bagus, bagaikan sebuah panggung kesenian di mana berbagai cerita dan skenario masa lalu diperlihatkan yang dapat dinikmati dan diwariskan, supaya generasi penerus mengetahui tentang warisan leluhur mereka dan merasa bangga atas kebesaran budaya mereka.
Segala sesuatu telah kami lakukan untuk menerbitkan tulisan ini dengan menyajikan berbagai falsafah kehidupan. Adalah tanggung jawab kita dan generasi penerus untuk melestarikan warisan leluhur ini dengan berbagai cara, sebagaimana tulisan ini yang telah kami pilih sebagai salah caranya.

Yayasan Pusaka Bunda
&
Pemerintah Kota Tanjungpinang


Peta Kota / Negeri yang Mempunyai Keterkaitan dengan Perjalanan Sejarah Melayu



Peta Kepulauan Riau



Bukit Siguntang Palembang



Makam Wan Apok dan Wan Malini di Gunung Bintan



Makam Sultan Iskandar Shah di Bukit Caning



Gedung Daerah Tanjung Pinang
More aboutButang Emas - Warisan Budaya Melayu Kepulauan Riau